Bertemu teman, menemukan kawan

Boga

Asal-usul Semar dan Gareng, serta nama Dawet Ayu

Asal-usul Semar dan Gareng di gerobak penjual Dawet Ayu

Asal-usul Semar dan Gareng di gerobak penjual Dawet Ayu

Asal-usul Semar dan Gareng yang biasanya selalu ada di gerobak penjual Dawet Ayu Banjarnegara yang asli dan non-KW, ternyata unik dan –kalau menurut para ahli-ahli industri pariwisata jaman sekarang– memiliki kekuatan storytelling yang menjual.

Mengapa kedua tokoh itu ada di gerobak penjual Dawet Ayu? Apa alasannya dari sekian banyak tokoh wayang, yang dipilih dua orang anggota panakawan ini? Bukan Petruk atau Bawor (Bagong versi Banyumasan), misalnya?

Konon asal-usul Semar dan Gareng dipasang di gerobak penjual dawet ayu adalah sebagai perlambang doa para penjual dawet supaya cuaca pada saat mereka berjualan seperti cuaca saat MARENG, yang merupakan bagian nama dari dua tokoh wayang tadi, seMAR dan gaRENG.

Penjual Dawet Ayu keliling lengkap dengan tokoh Semar dan Gareng-nya.
Penjual Dawet Ayu keliling lengkap dengan tokoh Semar dan Gareng-nya.

Marèng adalah sebuah musim (mangsa) dalam penanggalan agraris Jawa, yang merupakan salah satu dari empat pembagian besar musim dalam setahun. Iya benar, ketika orang-orang lain di wilayah tropis hanya mengenal dua musim, orang Jawa jaman dulu mengenal “semacam” empat musim.

Musim-musim tersebut adalah Katiga (kemarau), Labuh (pancaroba menuju musim hujan), Rêndhêng (musim hujan), dan Marèng (peralihan dari musim hujan ke musim kemarau). Kemudian empat musim besar itu dibagi lagi menjadi dua belas mangsa yang masing-masing jangka waktunya lebih pendek.

Kalau dulu sebelum ada efek krisis pemanasan global, mangsa marèng ini jatuh di sekitar akhir Februari hingga awal Mei. Dulu lho itu.

Pada mangsa mareng inilah biasanya para petani memanen hasil kerja kerasnya, pada mangsa ini pulalah satwa-satwa kawin mawin dan bunting. Pendeknya di mangsa ini rasanya semua rejeki dari Sang Maha Kuasa mewujud nyata.

Termasuk cuaca yang hujan sudah mulai tidak sesering musim-musim sebelumnya, tapi belum terasa panas terik menyengat alias belum masuk musim kemarau. Pokoknya hore lah.

Bagaimana kalau bukan Semar dan Gareng?

Coba bayangkan kalau tokohnya Semar dan Bawor. Ini akan membuat singkatannya menjadi “Mawor” alias kumpul-kumpul. Kapan bisa dapet duitnya kalau cuma pada kumpul aja enggak pada beli, kan?

Apalagi jika di gerobak dawet ayu itu, Semar disandingkan dengan Petruk, yang akan menjadi “Maruk”. Sungguh sebuah kata yang maknanya kurang elok. Sebab meskipun orang rakus punya peluang menghabiskan dagangan dawet ayu, tapi tidak menjamin orang tersebut akan membayar to?

Jadi dari sudut pandang wirausahawan/wati dawet ayu, kehadiran tokoh Semar dan Gareng ini semacam doa lancar rejeki agar minuman tradisional segar ini laris manis. Setidaknya karena banyak petani panen membuka peluang banyak calon konsumen memiliki uang untuk beli dawet ayu. Dari sisi cuaca, harapannya kondisi seperti mareng ini terus berlangsung ketika mereka sedang berjualan.

Sehingga itu alasan lain mengapa komposisi Semar dan Gareng sangat tepat. Sebab ketika mareng, para pembeli yang punya banyak rejeki berdatangan tanpa khawatir terhalang hujan, dan si penjual (apalagi kalau penjual keliling) mobilitas mencari rejekinya juga jadi lebih tinggi karena tidak terlalu kepanasan.

Asal-usul kata “ayu” di Dawet Ayu

Oh iya, sudah pernah dengar kan kalau kata “Ayu” di Dawet Ayu itu dulu muncul karena ciduk alias semacam sendok besar untuk mengambil cairan gula merah untuk dawet ini, pada bagian gagang/pegangannya, berbentuk mirip siluet/sosok Dewi Srikandi?

Sayangnya saat ini sudah makin jarang yang menggunakan ciduk seperti itu. Karena banyak yang diganti dengan ciduk plastik biasa yang polosan.

Ada lagi versi lain, jadi dulu semua dawet itu sama. Belum ada yang punya embel-embel “ayu”, sampai kemudian ada sepasang suami istri, Pak dan Bu Munarjo berjualan dawet. Ndilalah e Bu Munarjo berparas ayu. Nah dari sinilah nama “Dawet Ayu” muncul.

Saking kondangnya dawet ayu pasangan Munarjo ini, sampai-sampai pernah ada saatnya para penjual dawet ayu yang tersebar di seluruh Indonesia, jika ditanya akan mengaku kalau masih ada hubungan keluarga dengan Pak atau Bu Munarjo.

Oh satu lagi, kalau sempat berkunjung ke pasar tradisional di kawasan Banyumas dan menemukan penjual dawet perempuan di pasar itu, coba didokumentasikan cara penjual ini mengolah dan mencampur komponen penyusun dawet bagi para calon pembeli.

Entah sekarang masih ada atau tidak, yang jelas dulu para perempuan penjual dawet di pasar-pasar tradisional Banyumas, punya gerakan khas dan ritmis tersendiri saat melayani pembeli. Terutama ketika mengambil gula merah dari wadah untuk dimasukkan ke gelas. Semoga masih ada.

4 Comments

  1. Salah satu makanan yang saya sukai, enak khas nusantara pokoknya…

  2. Zam

    wah menarik ini, mas.. aku baru tau soal kedua cerita itu.. kayanya selain di tukang dawet, aku pernah lihat ada sosok semar gareng ini di penjual sroto sokaraja di dekat rumah waktu tinggal di jakarta.. mungkin menggunakan filosofi yang sama..

    • Comment by post author

      temukonco

      kalau sosok Semar dan Gareng, keliatannya memang pakai filosofi yang sama Mas. Apalagi sama-sama dari daerah Banyumas. Mendadak dapet ide, gimana kalau Blog ini dipasangin gambar Semar dan Gareng juga ya? 😀 😀 😀

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.