Bertemu teman, menemukan kawan

Boga

Ceret Angkringan Yogyakarta

Ceret Angkringan Yogyakarta

By Wibowo Djatmiko (Wie146) (Own work) GFDL or CC BY-SA 4.0-3.0-2.5-2.0-1.0 via Wikimedia Commons

Mungkin jaman sekarang belum banyak yang tahu kala dahulu, selain sebagai wadah air panas dan wedang jahe, ceret angkringan Yogyakarta punya makna lain yang hanya dipahami oleh para pelanggan angkringan kelas wahid. Entah kalau sekarang.

Jadi seperti yang umum diketahui, ceret angkringan itu yang jelas terlihat (selain karena ukurannya besar, juga letaknya ada di atas anglo alias tungku di gerobak angkringan) jumlahnya ada tiga. Sementara yang tidak terlihat langsung minimal ada dua.

Tiga ceret di atas anglo itu, biasanya dua di antaranya berisi air panas, dan satu lagi isinya jahe anget.

Kalau penjual angkringannya berpengalaman, biasanya ceret yang berisi jahe hangat “moncongnya” disumpel alias disumbat dengan sumbat kayu yang berbentuk seperti pasak kecil, atau hanya dengan gulungan kertas koran.

Tujuannya agar aroma khas jahe tidak menguap hilang, yang membuat wedang jahenya terasa ngabar alias hambar.

Nah, dua ceret tak terlihat itu biasanya yang satu berisi teh kental untuk membuat teh anget atau es teh yang dipesan pembeli. Sementara ceret yang lainnya lagi berisi air putih dingin. Biasanya untuk campuran minuman-minuman yang menggunakan es.

Ceret Penanda Asal Penjual

Sampai sekarang, buat mereka yang merantau ke Yogyakarta dan tinggal sendiri di kos atau kontrakan, hari-hari terakhir puasa adalah saat-saat warung angkringan berjasa besar.

Itu karena kebanyakan warung-warung dan tempat makan sederhana yang biasa dijadikan langganan para perantau di sekitar kontrakan dan kosnya tutup karena sang pemilik sudah duluan mudik. Ini biasanya terjadi sekitar 3 – 7 hari sebelum lebaran.

Demikian juga warung-warung burjo khas Kuningan yang serentak ditinggal pulang para penjualnya karena biasanya mereka mengorganisir mudik bareng.

Sehingga yang masih setia menemani buka dan sahur para perantau dan anak-anak kos yang tidak mudik, adalah warung-warung angkringan Yogyakarta dengan harga bersahabat yang kadang tidak mengenal hari libur.

Melegakan memang untuk anak kos dan para perantau yang tak mudik, tapi bagaimana dengan para penjual angkringan itu sendiri?

Apakah para pedagang angkringan tersebut, terutama mereka yang merayakan Idul Fitri tidak mudik dan menikmati berlibur dan berkumpul bersama keluarga mereka?

Jangan khawatir, ternyata mereka juga sempat mudik. Biasanya pagi-pagi sekali sebelum subuh mereka sudah berangkat ke kampung halamannya, sholat Ied di sana, berkunjung ke sanak saudara siang harinya, lalu bagi para pedagang angkringan yang berjiwa wirausaha besar, biasanya sebelum Maghrib sudah kembali meluncur ke Yogyakarta untuk mempersiapkan angkringan mereka.

Ini semua sangat mungkin mereka lakukan karena sebagian besar pedagang warung angkringan yang ada di Yogyakarta, kalau tidak berasal dari Klaten, ya berasal dari Gunungkidul. Dua wilayah yang relatif dekat dan ditempuh tidak sampai lebih dari 2 jam perjalanan.

Memang saat ini bagi yang belum terbiasa, tanpa bertanya pada yang bersangkutan, akan sukar menebak darimana penjual angkringan yang kita datangi ini. Apakah berasal dari Klaten atau Gunungkidul?

Nah, dulu sekitar  tahun 90-an, ceret menjadi salah atu penanda dari mana asal penjual angkringan tersebut.

Jika ceret-ceret angkringan Yogyakarta yang dipergunakan penjual tersebut tinggi-tinggi, biasanya penjual angkringan tersebut berasal dari Klaten. Namun jika ceret-ceret yang dipergunakan penjual tersebut bentuknya mirip seperti ceret yang sering ditemui di rumah kita sendiri, yang pendek dan agak bulat, kemungkinan penjual angkringan tersebut berasal dari Gunungkidul.

Itu dulu, entah kalau sekarang apakah menggunakan ceret sebagai penanda ini masih valid atau tidak. Berminat untuk mengujinya?

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.