Bertemu teman, menemukan kawan

Musik

Dangdut Koplo Ternyata Tak Kalah Rebel!

dangdut koplo rebel

Free-Photos / Pixabay

Dangdut koplo ternyata tak kalah rebel dibanding aliran musik lain, apalagi yang konon kental dengan semangat perlawanan. Sejarah pertumbuhannya dan pergerakan yang ada di semesta aliran musik ini membuktikan hal tersebut.

Buktinya:

Para penggemar dangdut koplo

Perlawanan biasanya dilakukan oleh mereka yang berada dalam posisi tidak diuntungkan dan bahkan mungkin tertindas oleh sistem yang sedang berjalan. Sistem apapunlah itu.

Nah, para penggemar dangdut koplo kebanyakan mereka-mereka yang berada dalam posisi itu. Para buruh lepas, petani penggarap, mahasiswa dan pelajar anak buruh, para tenaga kerja Indonesia di luar negeri yang belum tentu setahun sekali pulang kampung, dan semacamnya.

Kalaupun ada, sangat kecil sekali jumlahnya penggemarnya berasal dari CEO sebuah perusahaan pendanaan multi-nasional misalnya, atau General Manager perusahaan pengembang besar yang cabangnya tersebar di seluruh penjuru negeri.

Dengan latar belakang mayoritas penggemar seperti itu, jelas musik ini punya potensi sebagai musik yang rebel. Para pendengar yang dengan segala ketidak berdayaan dan keterbatasannya, baik secara sadar ataupun tidak, melakukan perlawanan dengan mendengarkan musik ini.

Musik yang sebenarnya kental menyampaikan pesan-pesan perlawanan, meski tidak secara eksplisit ditunjukkan dalam lirik-lirik mereka.

Robin Hood-nya musik

Sudah jadi rahasia umum kalau banyak lagu populer di luar jenis musik dangdut koplo, “menjadi korban” di-koplo-kan para orkes dangdut dan para biduanitanya di atas panggung.

Dampak nyatanya adalah lagu-lagu populer yang sebelumnya hanya beredar di kalangan tertentu, akhirnya bisa merambah indra dengar para penggemar musik ini.

Batas-batas yang sebelumnya menghalangi para penggemar dangdut koplo menikmati musik-musik popular tersebut, bisa diruntuhkan dan bahkan kemudian direka-suara demikian rupa sehingga memiliki “warna” yang sedikit beda.

Saya bayangkan ini seperti apa yang dulu dilakukan Robin Hood yang mencuri harta dari si kaya (dalam konteks ini adalah lagu-lagu populer), kemudian menyebarkannya kepada si miskin dalam bentuk yang lebih dapat diterima dan dinikmati.

Dangdut Koplo relatif lebih sering “Fought The Law”

Masih berkaitan dengan aksi ala Robin Hood, sejauh yang saya tahu, dangdut koplo relatif lebih sering “fought the law” ketimbang jenis musik lain.

Contohnya ya tadi itu, tak jarang para penyanyinya menyanyikan lagu-lagu populer yang memiliki hak cipta setelah sebelumnya warna musiknya direkayasa sedemikian rupa.

Tidak hanya itu. Sejauh yang saya catat, ternyata dangdut koplo adalah jenis musik yang paling sering dilarang dan dibatasi pemutarannya di radio-radio.

Misalnya di tahun 2015 tercatat 8 lagu dilarang dan 44 lagu dibatasi jam putarnya oleh KPID Jawa Tengah. Sementara pada 2017, 11 lagu dilarang dan 47 lagu dibatasi pemutarannya, juga oleh KPID Jawa Tengah.

Memang benar, banyak lagu dari aliran musik lain yang tidak bakal bisa diputar dan didengarkan lewat radio siaran nasional. Biasanya karena liriknya yang terlalu kasar atau vulgar.

Namun para pemilik lagu berlirik kasar dan vulgar tesebut menyadari bagaimana isi karya mereka, sehingga tidak mengirimkan materi lagu tersebut ke radio-radio.

Sementara lagu-lagu dangdut koplo yang dilarang atau dibatasi tadi, meskipun mereka tahu lagu itu rawan untuk dicekal karena liriknya vulgar, tapi mereka tetap saja mengirim materi lagu itu ke radio-radio.

Walaupun ya itu tadi, akhirnya tetap dilarang dan dibatasi. Dahsyat kan?

Jadi sebuah sistem/skema alternatif di industri musik yang sudah ada/mapan

Umumnya, musisi/band Indonesia untuk masuk dunia industri diawali dari menawarkan single atau album, ditawarkan ke label atau di bawah label sendiri.

Lalu memproduksi single/album tersebut untuk dipasarkan, dipromosikan melalui berbagai kanal publikasi/layanan streaming yang ada (termasuk membuat acara rilis single/rilis album agar diliput media), tak lupa membawakannya di tiap kesempatan naik panggung untuk lebih memperkenalkannya.

Hal itu nyaris tidak berlaku di semesta dangdut koplo, terutama di  masa awal musik ini naik daun.

Karena memang pada dasarnya waktu itu aliran musik ini belum banyak punya lagu-lagu milik sendiri, jika tampil di panggung mereka menyanyikan lagu-lagu yang sudah lebih dahulu terkenal baik itu dangdut asli, pop daerah, maupun pop nasional.

Saat mereka tampil di panggung tersebut, vendor dokumentasi vedio yang disewa si empunya acara yang mengundang orkes dangdut koplo yang bersangkutan, merekam penampilan orkes dan penyanyi ini dari awal sampai akhir.

Hasil dokumentasi tesebut, selain diserahkan ke empunya acara, oleh perusahaan dokumentasi tersebut diedit sedemikian rupa, diperbanyak, lalu dijual di lapak-lapak yang penjual CD dan VCD yang sering kita temui di pinggir-pinggir jalan.

Hal tersebut seringkali dilakukan di luar pengetahuan orkes dan penyanyi dangdut koplo yang bersangkutan. Ini cara publikasi serta promosi lain bagi orkes dan penyanyi dangdut koplo yang berbeda dengan industri musik pada umumnya.

Tidak berhenti di situ saja. Oleh mereka yang selo tapi pandai membaca peluang, video-video aksi orkes dan penyanyi dangdut koplo ini diunggah ke YouTube. Sekali lagi para penyanyi dan orkesnya jadi terpromosikan ke khalayak yang makin luas.

Model promosi seperti ini bisa dibilang belum pernah dilakukan oleh band atau musisi di Indonesia sebelum adanya dangdut koplo ini.

Iklan dalam lagu

Satu lagi ke-rebel-an dangdut koplo di bidang promosi yang belum dilakukan oleh musisi atau band Indonesia di luar jenis musik dangdut koplo ini adalah, para penyanyi dan pemain musik orkes yang bersangkutan mengiklankan penyanyi dan orkes musiknya di tengah-tengah penampilan.

Di awal lagu “Banyu Langit” yang dinyanyikan Nella Kharisma para pendengar pasti dapat mendengar salah seorang anggota sebuah orkes dangdut koplo berseru, “Melon music… The Best Nella Kharisma… Samudera Record Banyuwangi.”.

Kalau tidak percaya silakan cek sendiri di sini:

Praktik tersebut dilakukan oleh nyaris setiap orkes dan penyanyi dangdut koplo. Sehingga orang yang pertama kali mendengar sebuah lagu yang masih asing di telinganya, bisa langsung tahu lagu ini penyanyinya siapa dan orkes pengiringnya siapa.

Tanpa repot-repot mencari informasi atau mengaktifkan aplikasi Shazam atau Soundhound mereka,

Dangdut koplo bersatu tak bisa dikalahkan

Bentuk ke-rebel-an lagi yang sukar ditiru oleh kelompok musik aliran lain dari dangdut koplo ini adalah keleluasaan mereka tukar menukar pemain dan bahkan penyanyi di antara orkes dangdut koplo.

Ini biasa terjadi jika penyanyi atau personel sebuah orkes dangdut koplo berhalangan sehinggak tidak bisa tampil.

Dengan semangat kekeluargaan orkes-orkes dangdut koplo lain saling menginformasikan kondisi tersebut dan menyediakan anggotanya untuk tampil sebagai pemain pengganti.

Bahkan proses pertukaran pemain dan penyanyi itu juga terjadi di antara group-group dangdut koplo yang sebelumnya satu, tapi karena satu dan lain hal mereka jadi terpecah kemudian berdiri dengan nama sendiri-sendiri.

Kerennya lagi, para pemain pengganti ini tidak perlu lama-lama berlatih bersama orkes dangdut koplo agar bisa tampil baik. Kadang cukup rembugan sebentar. Tak jarang bisa langsung pancal.

Bentuk nyata disrupsi industri musik

Dari semua poin di atas, secara singkat bisa ditarik kesimpulan sederhana bahwa bagi industri musik yang sudah ada dan mapan selama ini, dangdut koplo adalah disrupsi.

Mungkin di tahap-tahap awal, ketika mereka masih sering menyanyikan lagu-lagu penyanyi lain tanpa ijin, mereka masih bisa diusik dengan pendekatan hukum.

Namun bayangkan ketika mereka sudah mulai membuat lagu-lagu sendiri, dengan sistem promosi dan publikasi yang tidak umum tapi terbukti dahsyat seperti ini.

Misalnya video Jaran Goyang dari Nella Kharisma yang saat ini sudah menyentuh 202 juta viewers, atau Konco Mesra yang berada di angka 88 juta viewers. Belum lagi versi bootleg-nya yang banyak beredar dengan tak kalah banyak meraih viewers.

Gitu. Jadi dangdut koplo rebel, kan?

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.