Bertemu teman, menemukan kawan

Sela

Di Surabaya: Gaya Suroboyoan Tergusur Gaya “Loe-Gue”?

Gaya Suroboyoan dan Loe-Gue

Hari pertama puasa yang lalu, secara tak sengaja menemukan iklan milik Google Indonesia dalam bentuk film pendek di YouTube. Film pendek ini mendadak mengingatkan saya pada Gaya Suroboyoan yang erat melekat pada kawan-kawan saya yang tumbuh besar dan berkembang di Surabaya.

Karena kemasannya menarik dengan jalan cerita yang menyentuh, dan juga kebetulan lagi nunggu sahur, jadi saya urung meng-klik tombol skip ad, dan menonton iklan tersebut sampai selesai.

Film pendek itu diberi judul “Satu Dalam Kita”, bercerita tentang tiga orang anak muda yang tergabung dalam sebuah band. Pada suatu hari mereka mendapat undangan audisi di Bali yang diadakan keesokan harinya pukul 4 sore.

Tapi salah seorang personel band tersebut agak berat untuk memenuhi undangan tersebut karena ternyata esok hari itu bertepatan dengan hari pertama puasa dan ia tak sampai hati meninggalkan sang ibu yang sudah sendirian di hari pertama puasa.

Untunglah sang ibu pengertian, ditambah dukungan dua orang kawan se-band-nya yang walaupun memiliki kepercayaan berbeda, namun turut sahur bersama di hari pertama puasa serta diam-diam ikut menemani berpuasa, si anak yang awalnya ragu ini jadi bisa pergi ke Bali untuk audisi dengan lebih tenang.

Walau tak diceritakan bagaimana hasil audisi band mereka, tapi percayalah, film pendek yang disutradarai Rudi Soedjarwo ini berakhir bahagia.

Secara keseluruhan, film ini bagus kok. Meskipun ada tempelan iklan di sana-sini, tapi masih dalam taraf wajar dan masuk akal. Main e alus

Akan thethathi

Pada bagian awal film, saya sempat mengira kota tempat tiga anak muda yang diundang audisi ke Bali ini adalah Jakarta (atau daerah-daerah sekitarnya lah). Sehingga saat ada yang keberatan untuk pergi karena esoknya adalah Ramadhan pertama, saya langsung membayangkan ini akan jadi masalah rumit.

Betapa tidak, jarak Jakarta (atau daerah-daerah sekitarnya lah) ke Bali lumayan jauh dan kecuali pakai pesawat terbang, waktu tempuhnya akan lama sekali. Apalagi mereka harus sahur bersama dulu, itu pasti akan tergesa-gesa sekali. Kemrungsung.

Tanda tanya  besar atas permasalahan tersebut, terlebih saat melihat mereka berangkat menggunakan mobil waktu hari masih gelap, langsung terjawab. Itu terjadi ketika tak lama kemudian Google memberitahun mereka kalau perjalanan ke Denpasar akan menempuh waktu 10 jam 15 menit dariiii… SURABAYA!

Ternyata di saat itu baru terungkap kalau mereka bukan dari Jakarta, sodara-sodaraaa…

Namun ini malah memunculkan pertanyaan baru lagi. Kalau mereka dari Surabaya, mengapa gaya bicara para tokohnya sangat Jakarta sekali?

Karena terakhir kali saya cek, anak-anak muda Surabaya kebanyakan (kalau tidak mau dibilang semua) hingga saat ini jika bercakap-cakap dengan kawan-kawannya menggunakan dialek Suroboyo-an. Jadi sangat jarang mereka saling bertegur sapa dengan gaya “Loe — Gue” gitu.

Oh atau jangan-jangan anak-anak muda Surabaya sekarang sudah banyak yang lebih memilih ber “Loe — Gue” ketimbang mempertahankan gaya Suroboyo-an mereka yang khas, unik, dan tak kalah keren itu?

Apakah sekarang ini di Surabaya, gaya Suroboyoan sudah tergusur gaya “Loe-Gue”?

Piye rek? Iki dijawab po’o… (Maaf kalo dialek Suroboyan saya ambyar) 😀

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.