Bertemu teman, menemukan kawan

Sela

Orang Indonesia ada masalah apa sih sama janda?

Orang Indonesia ada masalah apa sih sama janda?

Photo by Siora Photography on Unsplash

Rondo Kempling, atau terjemahan bebasnya “Janda Mengkilat” mulai mengalun, penyanyi lelaki dan perempuan bersahut-sahutan menyanyikannya, dan para penonton juga turut bersemangat ikut bernyanyi.

Saya yang malam itu beruntung mendampingi rombongan wisatawan Belanda, bersemangat menyaksikan pertunjukkan musik campursari. Suguhan kelompok seni penduduk desa wisata ini.

Rasa senang semakin bertambah karena sembari menikmati pertunjukkan seni tadi, keluar pula suguhan panganan khas daerah ini. Ada jangan lombok, tempe kemul, ikan sungai, ayam goreng, dan minuman rempah khas pengusir hawa dingin yang juga jadi ciri khas kota ini.

Begitu dipersilahkan, bersama rombongan saya turut antri mengambil hidangan-hidangan yang aromanya makin menggelitik hidung itu. Kemudian menyantapnya dengan gusto. Wal-wêl.

Sampai kemudian suapan demi suapan bersemangat itu mendadak terhenti saat seorang wisatawan perempuan di sebelah saya bertanya, “Lagu ini tentang apa? Kok keliatannya semua orang tahu lagu ini?”

Orang Indonesia ada masalah apa sih sama janda?
Photo by Siora Photography on Unsplash

Perlu diketahui, kejadian ini terjadi di tahun 90-an. Kala itu lagu-lagu campursari yang populer di masyarakat wilayah Jogja, Jawa Tengah, sampai perbatasan Jawa Tengah – Jawa Timur adalah lagu-lagu seperti Nyidamsari, Tahu Apa Tempe, Lara Branta, dan tentu saja lagu Randa Kempling. Lagu yang ditanyakan wisatawan perempuan Belanda tadi, di tengah keasyikan saya menyantap makan malam gratis ini.

Kombinasi antara kurang fokus memperhatikan pertanyaan karena sedang khusyuk makan, digabung dengan usia yang saat itu masih sangat hijau dan lugu, maka dengan ringan saya jawab, “Oh judul lagu itu kurang lebih artinya ‘Janda Mengkilat’ . Singkatnya itu cerita tentang seorang lelaki yang sedang pendekatan dengan seorang janda yang masih mengkilat atau cantik, saat hendak pergi ke pasar.”

Wisatawan perempuan itu nampak mengangguk-angguk berusaha memahami sebelum kemudian bertanya lagi, ”Tapi kenapa kok keliatannya dibawakan secara jenaka ya? Dan nampaknya para penonton juga terlihat tertawa karena ada unsur kelucuan dari lagu ini?”

Saya yang lugu dan saat itu berusaha kuat untuk “jaim” dengan tidak mbrakoti ujung dan pangkal paha bawah ayam goreng yang renyah itu, ringan menjawab, “Ya karena yang didekati itu janda.”

Wisatawan perempuan itu terus mencecar, “Apa jenakanya seorang perempuan yang sudah tak bersuami lagi?”

Pada saat itulah makan saya terhenti.

Karena terus terang saya tidak tahu apa jawaban pertanyaan itu. Juga karena saat itu saya baru sadar. Bahwa kalau benar-benar dipikirkan dan dipahami, sesungguhnya tidak ada hal yang jenaka sama sekali, yang berkaitan dengan kata “janda”. Baik itu secara bahasa, secara istilah, maupun sebagai sebuah status.

Apa yang aneh dengan status itu?

Untung saja malam itu hanya satu lagu bertema janda yang dibawakan kelompok campursari tersebut. Coba saja kalau ketambahan lagu Randa Ngarep Omah dari Mus Mulyadi, atau lagu Gadis atau Janda dari Mansyur S. Bisa tambah repot menjelaskan pada wisatawan Belanda perempuan itu.

Lebih repot lagi kalau kejadian itu terjadi di waktu sekarang. Di masa-masa makin bertaburan lagu-lagu bertema “janda” dalam beberapa bahasa dari berbagai daerah.

Apa jenakanya seorang perempuan yang sudah tak bersuami lagi?

wisatawan perempuan belanda

Kalau tidak percaya, silakan googling, cari di YouTube, atau cek di Spotify dengan keyword “randa” atau “janda” deh. Mulai lagu populer, lumayan dikenal karena pernah beberapa kali dengar di beberapa kesempatan, sampai ke yang oh-ada-to-lagu-judulnya-itu.

Tapi kan ada juga lagu-lagu bertema bujangan, gadis, perawan, dan juga duda? Iya memang, tapi coba deh dicek lagi. Mana yang lebih banyak dijadikan lagu?

Entah sejak kapan di masyarakat Indonesia punya semacam ketertarikan “unik” jika berkaitan dengan tema-tema atau cerita-cerita yang ada kaitannya dengan janda.

Hal ini tidak hanya terbatas pada kaum Adam (yang di sini maksudnya kaum pria, bukan Mas-mas suaminya Mbak Inul), kaum Hawa juga kerap turut terjebak dalam sentimen-sentimen dan prasangka-prasangka terhadap para janda.

Bahkan ketika mendengar kata “janda”, beberapa orang (setidaknya kawan-kawan yang pernah saya tanyai), dalam benaknya langsung mengasosiasikan ke sosok perempuan matang dewasa yang elok paras dan bentuk tubuhnya. Sehingga ia memiliki daya tarik tertentu bagi lawan jenis.

Singkatnya, yang terbayang oleh mereka adalah sosok seperti artis-artis yang menawan, atau para selebgram dan influencer yang menyita perhatian akhir-akhir ini.

Uniknya, ketika saya tanya ke kawan-kawan itu, mengapa terbayang sosok seperti disebutkan tadi, bukan sosok perempuan tua renta yang hidup sebatang kara. Kebanyakan mereka ngeles dengan alasan, “kan yang ditanya tentang kata ‘janda’ aja bukan ‘janda tua’.”

Pastinya, hingga sekarang kebiasaan membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan janda bukannya makin menghilang tapi cenderung semakin nge-tren, bahkan jauh meninggalkan “duda”. Setidaknya menurut amatan Google Trends ini pada 1 Juni 2020:

Trend pencarian "janda" (garis biru) dan "duda" (garis merah) per 1 Juni 2020 menurut Google Trends
Trend pencarian “janda” (garis biru) dan “duda” (garis merah) per 1 Juni 2020 menurut Google Trends

Apa saja yang paling sering ditanyakan ke Google, di antara tren sebanyak itu?

Mari kita lihat bersama-sama. Silakan buka browser kawan-kawan, pilih buka tab baru dengan mode incognito atau mode private, buka Google, ketik keyword yang akan kita amati tadi, jangan di-enter tapi tekan space/spasi.

Kemudian biasanya oleh Google akan dimunculkan pertanyaan-pertanyaan lain yang paling sering ditanyakan berkaitan dengan keyword tersebut. Kalau di tempat saya, per 1 Juni 2020 kemarin, begini tampilannya:

Dari segi sentimen, bisa terlihat bagaimana kecenderungan orang ketika melakukan pencarian di Google dengan keyword tersebut di atas.

Bandingkan kecenderungan sentimennya dengan pertanyaan-pertanyaan berikut ini. Pertanyaan lain yang paling sering ditanyakan di Google, berkaitan dengan keyword “duda”, per 1 Juni 2020:

Terlihat kan perbedaannya?

Dari mana asal muasalnya sampai bisa ada pandangan seperti ini banyak muncul di masyarakat? Ada masalah apa sebenarnya antara orang Indonesia dengan janda?

Kalau kawan-kawan ada yang tahu, mohon pencerahannya ya.

12 Comments

  1. beberapa temanku yang janda sempat mengalami hal yang kurang enak dengan stigma “janda” kesannya akan jadi pelakor padahal kadang si laki yang menggoda.

    • Bener Bang. Padahal ada juga yang lebih sibuk memikirkan kerjaan dan cari nafkah halal buat menghidupi dirinya dan anak-anaknya. Jadi sudah ndak sempet mikirkan yang kayak-kayak gitu.

    • Maturnuwun pencerahannya Paman… Tulisan di blog njenengan lebih berani dan thas-thes e… 😀

    • anekdotnya kurang lengkap bro. harusnya: perawan lebih menawan, janda lebih menantang tapi binor lebih gurih 😁😁

  2. Heran juga sih, Mas. Tapi saya belum pernah baca sih penelitian sosial yang bahas soal ini. Cuma, saya curigai ini ada kaitannya sama produksi wacana soal janda di film-film layar lebar zaman dulu dan tayangan-tayangan televisi.

  3. Zam

    perempuan memang sering berada di stigma negatif. ada kasus selingkuh, yang kena si perempuan, disebut pelakor. jadi janda, jadi gunjingan.. 😩

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.