Bertemu teman, menemukan kawan

Boga

Kiriman Pempek dari Asa

pempek dari asa

Pempek Lenjer (Foto: Asa Rahmana)

Pempek adalah salah satu dari beberapa kekayaan warisan boga Nusantara yang mengagumkan, dan digemari banyak orang, tak hanya yang berasal dari Palembang saja.

Hal yang menarik dari makanan khas ini adalah hingga sekarang, ia benar-benar masih membuktikan diri dan diakui sebagai sebagai makanan khas masyarakat Palembang.

Lho bukannya dari dulu pempek makanan khas Palembang ya?

Sabaaar… Agak ribet menjelaskannya, tapi mungkin contoh ini bisa menjelaskannya.

Coba tanyakan pada beberapa kawan kita di Palembang, dalam sebulan terakhir, berapa kali mereka menikmati pempek?

Kalau dari pengalaman saya, rata-rata kawan-kawan di Palembang sana hampir tiap hari menikmatinya.

Sementara, kalau saya menanyakan ke kawan-kawan di Jogja, dalam waktu sebulan (ketika belum ada kejadian heboh seperti ini), berapa kali mereka menikmati gudeg?

Masih menurut pengalaman saya, walaupun ada yang menikmati gudeg dalam waktu satu bulan terakhir (sebelum ada kehebohan ini), namun frekuensinya tidak sesering kalau dibandingkan teman-teman di Palembang menikmati pempek.

Padahal sama halnya seperti pempek yang dikenal sebagai makanan khas Palembang, gudeg juga dikenal luas sebagai makanan khas Jogja.

Mungkin karena begitu dekatnya ikatan emosional antara kawan-kawan Palembang dengan kuliner yang konon mulai populer sejak masa Kesultanan Palembang Darussalam periode 1659- 1823 tersebut, maka bagi mereka yang sekarang hidup dan tinggal di tanah rantau, mencari pempek yang memiliki cita rasa mirip dengan yang biasa dirasakan di kampung halaman, adalah sebuah PR besar.

Karena nyaris sedikit (kalau tidak bisa dibilang tidak ada) restoran atau warung-warung penyedia kuliner yang lahir dari pertemuan budaya Melayu dan Tionghoa Palembang tersebut, yang sesuai dengan selera mereka di sini.

Tak heran jika kemudian teman-teman asal Palembang ini kemudian berupaya keras untuk mewujudkan sendiri pempek sesuai dengan cita rasa yang mereka kenangan ketika masih di kampung halaman.

Asa Rahmana, adalah salah satu dari beberapa teman-teman yang berjuang mewujudkan hal tersebut. Dan saya beruntung dapat mencicipi hasil perjuangannya mewujudkan pempek yang sesuai cita rasanya di Kota Gudeg ini, berupa lenjer besar, lenjer kecil, pempek belah, satu botol cuko, dan sambal kemplang (sambal yang biasanya jadi cocolan, teman menikmati kemplang).

Pempek Lenjer (Foto: Asa Rahmana)

Dalam proses pembuatannya, konon harus bernegosiasi dan berdamai dengan beberapa hal. Mulai dari mencari penyedia bahan baku, terutama yang sesuai dengan standarnya, umumnya kalau yang di Palembang pakai ikan sungai atau rawa. Namun karena di sini agak susah mendapatkan ikan sungai atau rawa yang dimaksud, ada yang menggantinya dengan ikan tenggiri. Kemudian harus memberi penjelasan ke penyedia ikan tersebut, tentang cara menangani ikan itu sebelum diolah. Antara lain cara mem-fillet dengan benar, dan bagian-bagian mana saja dari ikan yang seharusnya tidak ikut digiling.

Itu baru ikannya. Belum lagi untuk urusan cuko-nya.

Mungkin karena perbedaan jenis bahan baku, walaupun sama-sama gula merah. Namun mungkin ada perbedaan kadar kemanisan antara gula merah di sini dan di Palembang sana. Sehingga memengaruhi cita rasa, kualitas, dan teksturnya. Jadi ketelatenan dan pengukuran yang teliti benar-benar dituntut untuk bisa mewujudkan cuko idaman.

Cuko pempek (Foto: Asa Rahmana)

Ketelatenan dan ketelitian tersebut membuahkan hasil yang memuaskan. Tidak hanya akhirnya menemukan komposisi rasa yang sesuai harapan, tapi juga berhasil membuat beberapa varian rasa lain dari cuko tersebut sehingga lebih akrab diterima lidah Jogja yang cenderung menyukai rasa manis.

Nah, bicara masalah rekayasa rasa, tidak hanya cuko saja yang varian rasanya ada yang disesuaikan. Untuk pempek-nya pun ada yang rasanya disesuaikan dengan cita rasa lidah Jogja, yang kurang akrab dengan cita rasa ikan.

Sehingga, dalam beberapa proses pembuatan berikutnya, porsi ikan tenggiri yang dimasukkan ke adonan agak dikurangi. Ini semua demi mengakomodir beberapa saran dan masukan dari kerabat di Jogja, yang mengatakan pempek yang sangat terasa ikannya itu rasanya malah mirip seperti lauk.

Rasane kaya lawuh,” demikian kurang lebih komentar mereka.

Terus, bagaimana dengan pempek dari Asa yang saya dapatkan beberapa hari lalu?

Untuk lenjer dan cuko-nya, saya kebetulan dapat yang “versi Jogja”, jadi lebih akrab di lidah. Untung ada sambal kemplang yang bisa menyempurnakan cuko yang cenderung manis itu. Jadi rasanya pas.

Pempek belah. (Foto: Asa Rahmana)

Yang tidak kalah menarik adalah pempek belah. Bentuknya mirip lenjer namun dibelah memanjang, sehingga mengingatkan pada hotdog. Di belahan tersebut dioleskan sambal rese. Sehingga dimakan langsung bisa, dikasih cuko juga cocok. Sungguh sebuah pengalaman pertama berjumpa dan mencicipi pempek belah yang mengesankan.

Oh iya, kalau berminat mencicipi pempek hasil perjuangan Asa ini, boleh kok langsung menghubunginya melalui WhatsApp di nomer +62 816-1554-6689.

Semoga juga cocok!

3 Comments

  1. Zam

    memang agar bertahan, kuliner harus menyesuaikan lidah masyarakat asalnya.. sama lah kayak nasi padang, ada versi “padang jawa” yang tingkat kepedasannya tidak bisa disandingnya dengan “padang sebenarnya” di sumatera barat, sana..

    kagum juga ada cuko pempek versi manis ala Jogja.. 🤣

    • Iya Mas, dominan manisnya ketimbang pedas dan asemnya. Jadi ingat pas di Sumatera nemu warung gudeg yang rasanya cenderung gurih ketimbang manis. Jadinya malah kayak jangan gori ketimbang gudeg. 😀

  2. Baca ini beneran bikin ngiler, Mas. 😀 Dulu saya pernah sekitar sebulan di salah satu kota di Sumsel. Pempek kayaknya memang makanan keseharian di sana. Tiap pagi, di jalan besar sekitar pasar pasti berjejeran penjual pempek (yang juga jual penganan sarapan). Mustahil rasanya saya nggak tergoda buat nggak beli pempek. 🙂

    Tapi saya bingung juga sih memposisikan pempek ini, Mas. Dibilang camilan bisa, dibilang makanan berat bisa. Kayaknya pempek ini, kalau di Jogja, antara bakso pentolan dan gudeg, deh.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.