Bertemu teman, menemukan kawan

Fiksi

Prolog II: Tokoh 1

radio-console

Kantor sudah sepi, tinggal Bagas –seorang penyiar– yang sedang asyik sendiri di ruang siar mendengarkan lagu yang dia putar sambil membuka-buka situs internet di komputer ruang siar itu. Semoga saja, segala macam suara yang muncul dari aplikasi internet itu tidak lupa dia disable-kan.

Karena pernah kejadian ada seorang penyiar yang ketika siaran dia iseng-iseng login ke Yahoo! Messenger dan chatting dengan teman-teman lainnya yang online ketika ia sedang memutar lagu dan iklan. Nah ketika lagu serta iklan sudah selesai diputar dan sampai giliran dia ngomong di depan microphone, YM-nya lupa tidak disable-kan suaranya.

Sehingga pas dengan semangatnya dia on air dan ber-halo-halo, seorang teman chattingnya di YM dengan sangat iseng mem-buzz-nya lengkap dengan tambahan audible-nya yang aneh-aneh itu padanya yang langsung terdengar ke seluruh pendengar radio ini dengan jelasnya.

Untunglah insiden kecil itu tidak begitu dipermasalahkan oleh pihak atasan, hanya diberi himbauan agar kalau lagi siaran sebaiknya suara-suara yang mungkin muncul dari aktifitas ber-internet sebisa mungkin dihilangkan.

Sementara itu, saya makin lama makin tidak bisa fokus nih, sudah 45 menit semenjak karyawan terakhir kantor ini pulang tadi sore, dan belum ada satu ide pun yang datang untuk bisa dijadikan bahan untuk iklan cafe ini, sementara migren yang sangat tidak diharapkan kehadirannya malah pelan-pelan mulai berdenyut dengan rancaknya di bagian depan kepala sebelah kiri atas.

Nampaknya perlu istirahat nih, iklan kerjain besok aja daripada kalo dipaksain hasilnya jelek? Jelek iklannya dan juga jelek bagi kesehatan otak saya. Besok AE mau marah-marah? Tidak perduli. Kalo yang marah-marah klien-nya? Tenang saja, kan ada AE yang ngadepin mereka. Lagian bukankah AE dibayar selain untuk menjual produk juga untuk menerima komplain dan dimarahin klien, to?

Pokoknya sekarang kudu harus cari udara segar… Or else… Tapi enaknya ke mana ya? Mau langsung pulang ke kos, nampaknya bukan ide yang tepat sebab apa bedanya mengurung diri di ruang produksi yang 5 x 5 meter itu dengan mengurung diri di kamar kos yang juga 5 x 5 meter kurang dikit? Sama-sama kurang bagus untuk menyegarkan otak saya nampaknya.

Kalo mau jalan, jalan ke mana ya? Kalo ke angkringan keliatannya masih terlalu dini jam segini ini. Tapi mosok cuman keliling-keliling kota pake motor tanpa tujuan yang jelas? Kalo berduaan sih nggak pa pa, lha kalo sendirian?

Eh sebentar, cafe yang mau dibikinkan iklan ini sebenarnya letaknya di mana ya? Jadi pengen liat cafe yang jadi biang kerok migren saya ini deh, sapa tau saya bisa dapet ide bikin iklan kalo udah ngadain semacam participant observer gitu, dan sapa tau migren saya sembuh, kan mereka menjanjikan suasana santai yang konon sangat manjur untuk meredakan migren.

Di sini tertulis cafe itu terletak di Jalan Flamboyan. Di sebelah mana to ya? Inilah perbedaan pendatang dan penduduk asli atau penduduk yang paling tidak sudah lima tahun tinggal di kota ini. Kalau pendatang selalu memberi tahukan lokasi suatu tempat dengan nama jalan melalui tempat tersebut. Misalnya Jalan Bhayangkara, Jalan Simanjuntak, atau Jalan HOS. Cokroaminoto.

Sedangkan penduduk asli atau yang sudah agak lama tinggal di kota ini lebih paham jika menunjukkan lokasi suatu tempat dengan menyebutkan nama daerahnya seperti Ngampilan, Terban, atau Kuncen. Oh iya, fakta ini tidak berlaku untuk daerah dan nama jalan yang kebetulan sama, misalnya Pasar Kembang.

Berhubung saya sudah lumayan lama di kota ini dan karena mungkin nama jalan itu adalah nama baru, saya jadi termasuk ke golongan penduduk kota ini yang lebih paham kalo diberi tahu nama daerahnya. Ah coba tanya Bagas, sapa tau dia ngerti tempatnya. Tapi nampaknya dia masih on air, berarti kudu nunggu sampe dia muter lagu dan/atau iklan.

Bagas masih berceloteh dengan gaya cerianya,”Buat yang baru aja tune in, gue, Bagas di sini bakal nemenin loe semuanya yang di rumah sampe jam delapan malem nanti dengan lagu-lagu yang pengen loe dengerin… Makanya enggak usah ragu-ragu buat request ke gue lagu apa yang lagi loe pengen dengerin… Semoga aja udah ada di playlist gue malem ini…”

Entahlah, siapa pertama kali di kota ini yang mempopulerkan siaran dengan ber-“Loe-Gue“-ala Ibu Kota untuk menyapa para pendengarnya. Sampai-sampai si Bagas juga ber-Loe-Gue-ria, entah mulai kapan dia seperti itu yang jelas ketika pertama kali bekerja di radio ini dia sudah ber-loe-gue dengan lancarnya. Padahal percaya atau tidak, dia itu aslinya berasal dari sebuah daerah pedesaaan di perbatasan Sragen dan Karanganyar, dan baru sekali ke Jakarta yaitu ketika ada acara studi banding kampusnya.

Jujur aja sebenernya saya ndak begitu cocok dengan sapaan seperti itu. Sebab kalo saya kumpul-kumpul ama temen-temen baik yang dari kota ini maupun dari luar, sangat jarang kami saling ber-loe-gue. Eh, tapi itu kan di kalangan saya dan kawan-kawan saya ya? Yang emang udah agak sedikit “matang” (untuk menghindari kata “tua” semaksimal mungkin…), bukan di kalangan anak-anak muda kota ini.

Tapi apa iya, anak-anak muda kota ini sekarang kalo bertegur sapa dengan sesamanya pake Loe dan Gue? Sebab kalo diperhatikan, hampir semua penyiar radio anak muda di kota ini (dan di kota-kota lainnya di bagian negara ini) kalo siaran –selain pake sapaan khas pendengar radio itu sendiri– mereka lebih sering ber “Loe-Gue” dengan para pendengarnya. Padahal keliatannya sih “Loe- Gue”itu bukan merupakan sapaan akrab yang khas daerah tersebut. Atau mungkin trend sedang berubah. Note to myself: Besok-besok perhatikan bagaimana ABG-ABG itu kalo ngobrol…

“…buat Silvi di Jamal, loe nggak usah sedih lagi ya. Ini gue puterin lagu yang loe request, moga-moga bisa bikin loe semangat lagi dan ngelupain cowok loe itu deh…” mic ditutup dikit-dikit sambil bersamaan dengan deck satu yang dibuka dikit-dikit sampe pol. Saat yang tepat buat nanya jalan ke Bagas.

Setelah mengetok pintu kaca ruang siaran dan Bagas nyuruh masuk, pintu ruang siaran itu saya buka. Ndak masuk, cukup berdiri dipintu dan teriak-teriak dari sini, males kalo harus masuk ruangan sebab pake acara buka sepatu segala dan itu berarti jempol kaki yang dari tadi pagi sampai sekarang ini terbungkus kaos kaki dan sepatu sudah memproduksi aromanya yang amat khas itu. Saya tidak tega menyiksa Bagas dengan aroma jempol kaki saya yang biasanya bisa bertahan di suatu ruangan tertutup -misalnya ruang siaran ini- dalam waktu lama.

“Gas, Jalan Flamboyan itu di mana to?”

“Oh, itu kan di deket ring road, dari perempatan ring road itu loe ke utara dikit. Di situ tuh Jalan Flamboyan. Emang loe mau kemana? Ada kencan ye… Anak mana nih? Kenalin ke gue dong…”

Halah, Endak… Aku lagi pengen iseng jalan-jalan nih, kepala rasanya mo pecah, pengen cari tempat nongkrong yang enak. OK deh, makasih infonya…” Sambil saya menutup pintu ruang siaran itu.

Yo ih…”

Oalaaah, Lu Gue.. Lu Gue…

Catatan:  Ini adalah posting blog awal saya ketika pertama kali punya domain sendiri, pada 31 Desember 2006, ceritanya mau ber-prosa-ria sih. Diposting ulang dalam rangka Hari Blogger Nasional 27 Oktober 2012

radio-console
Image by goszka from Pixabay 

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.