Bertemu teman, menemukan kawan

Sela

RRI dan Kami

Logo Radio Republik Indonesia (RRI)

Radio Republik Indonesia

Radio Republik Indonesia, merayakan hari jadinya ke-69 pada 11 September lalu. Sebagai sebuah media publik pertama yang resmi berdiri saat belum genap sebulan kemerdekaan negara, tentu banyak peran penting yang telah dijalankan Lembaga Penyiaran Publik ini.

Beberapa tahun yang lalu (lupa persisnya kapan) pernah ada percakapan orang-orang tua di dekat tempat saya yang membahas tentang bagaimana peran stasiun radio siaran, terutama RRI dalam membentuk pemaknaan kata “Kami” yang selain sebagai kata ganti orang pertama jamak, juga sebagai bentuk yang lebih sopan dari kata “Saya”.

Semuanya bermuara pada salah satu peran penting yang diemban RRI bagi sebuah negara yang masih sangat belia waktu itu, yaitu menyebarluaskan dan memasyarakatkan Bahasa Indonesia yang baik dan benar pada seluruh pendengar.

Di sisi lain, pada masa itu umumnya untuk melakukan siaran, diperlukan kerjasama setidaknya dua orang di bilik siar. Orang pertama bertugas sebagai penyiar, dan orang kedua bertugas sebagai operator siaran.

Nah, karena memang pada kenyataannya yang menyuguhkan siaran ke telinga pendengar itu terdiri dari dua orang, maka sang penyiar membahasakan dirinya dengan kata “Kami” karena memang si penyiar itu tidak sendirian, bukan “saya; aku; atau guweh” yang merupakan kata ganti orang pertama tunggal.

Akan tetapi kata “Kami” yang sering diucapkan penyiar tersebut selama siaran ditangkap oleh para pendengar radio tersebut sebagai bentuk yang lebih formal dan lebih sopan dari kata “Saya”.

Nampaknya, menurut obrolan orang-orang tua tadi, sejak adanya teknologi siaran radio di Indonesia inilah terjadi pergeseran makna kata “Kami” tersebut. Menurut mereka hal tersebut dapat dibuktikan dengan sangat jarang kata “Kami” digunakan sebagai ungkapan yang lebih sopan dari “Saya” pada karya-karya sastra yang muncul sebelum siaran radio berbahasa Indonesia, dalam hal ini RRI, diselenggarakan.

Tapi karena pada masa itu angka melek huruf masih amat tinggi di masyarakat yang baru merdeka ini, maka praktik-praktik penggunaan kata pengganti “Saya” yang lebih sopan, yang terdapat di karya-karya sastra, belum dapat dipahami, sedangkan di sisi lain informasi yang disebarkan melalui radio bisa lebih cepat diterima dan ditiru.

Sebagai bukti, jika membuka karya-karya sastra sebelum RRI berdiri, kata “Saya” agar lebih sopan umumnya diganti dengan kata “Hamba”, “Patik”, atau “Kawula”.

Kalau cerita orang-orang tua ini benar, berarti dahsyat sekali pengaruh RRI pada masyarakat Indonesia di awal-awal masa kemerdekaan dulu, bukan?

Dirgahayu RRI… Sekali di udara, tetap di udara!

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.