Setelah postingan blog kemarin diunggah, saya jadi agak tidak enak hati, khawatir dipaido. Karena saya sesunguhnya tidak mampu berbahasa Jawa dengan baik. Itu lantaran saya menyelesaikan masa sekolah di Balikpapan.
Oh iya, berbahasa Jawa dengan baik di sini maksudnya ya –seperti standar kawan saya kemarin– mampu berbahasa Jawa dalam 3 variannya, tentu saja termasuk bisa membaca dan menulis dengan menggunakan aksara Jawa.
Namun maaf kalau mengecewakan khalayak, sampai sekarang saya masih buta aksara Jawa. Meskipun beberapa pihak tidak percaya, dan menganggap itu hanya alasan agar saya tidak jadi jujugan tetangga yang kebingungan dengan PR Bahasa Jawa, tugas sekolah yang harus digarap anak-anak mereka.
Tapi kan tetap saja, ketika SD dulu pasti juga mendapat pelajawan bahasa daerah Balikpapan?
Oh, tidak semudah itu, anak muda!
Mungkin sudah banyak yang tahu ya kalau Balikpapan itu adalah sebuah kota yang sebagian besar penduduknya adalah pendatang. Sehingga di sekolah tidak ada mata pelajaran bahasa daerah.
Makanya, kalau bab bahasa daerah, sesungguhnya saya blong. 😀
Kisah dan sejarah lahirnya Balikpapan bisa disimak di laman wikipedia ini. Apapun versi asal-usul nama kota ini, yang jelas telah disepakati kalau hari lahir Balikpapan ditetapkan pada 10 Februari. Bertepatan dengan pertama kali dilakukannya pengeboran minyak di sini pada tahun 1897 silam.
Sejak dimulainya pengeboran itulah, berbondong-bondong orang dari berbagai daerah bahkan negara, mendatangi kota ini untuk mengadu nasib. Hal itulah yang membuat kota sebagian besar terdiri dari pendatang. Kondisi seperti itu pula yang membuat masyarakat Balikpapan sangat beragam baik dari suku maupun agama.
Kuliner Balikpapan
Hal ini juga memengaruhi kuliner yang ada di kota ini. Bukan sekali dua kali ada teman atau kenalan yang langsung memasang wajah heran dan tatapan tidak percaya, saat mengetahui kalau saya tidak tahu apa makanan khas atau makanan asli Balikpapan.
Namun makanan khas dari daerah lain yang dibuat dan diolah a la Balikpapan, tentu saja banyak yang terpuji.
Misalnya nasi kuning dan lontong sayur khas Banjarmasin yang jadi menu sarapan favorit warga. Kalau dulu yang terkenal adalah nasi kuning Jembatan Maryati. Uniknya nasi kuning Jebatan Maryati ini, ikannya tidak dimasak bumbu Bali. Jadi tampilannya relatif lebih kering dan tidak terlalu merah.
Sementara itu untuk lontong sayurnya, agak mirip yang pernah saya temui di Medan. Hanya saja kuahnya lebih ringan, bumbu lauknya baik ikan, ayam, maupun telur tidak semerah lontong sayur Medan, serta tidak menggunakan krupuk berwarna-warni mencolok.
Lalu ada Coto Makassar yang banyak ditemukan di daerah Pasar Klandasan. Lokasinya ada di tepi pantai, jadi kalau tidak kuat angin laut, sebaiknya cari tempat di dalam ruangan saja. Karena di sini berderet-deret para penjual coto-nya. Jadi tinggal pilih sesuai selera.
Makanan-makanan khas Jawa Timur yang kampiun juga mudah ditemukan. Mulai dari beragam jenis soto, rawon, hingga rujak. Rujak a la Jawa Timur yang pakai petis berwarna hitam, dan kalau dicampur hidung sapi jadi rujak cingur itu. Bukan rujak buah-buahan seperti yang dikenal di Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Bahkan saya sempat menemukan nasi goreng merah di Jombang yang cita rasanya benar-benar mirip dengan nasi goreng merah buatan warung di daerah Karang Jati Balikpapan. Serta bakso a la Jawa Timur yang rasanya juga mirip dengan yang di Jawa Timur asli. Ya iyalah, lha wong pemilik bakso ini memang dari sana.
Lalu ada keajaiban kuliner lainnya yaitu pepes ikan patin panggang. Yaitu ikan patin yang diberi bumbu pepes lalu dibungkus daun, kemudian alih-alih dikukus, cara memasaknya dengan dipanggang langsung di atas bara.
Efeknya selaian membuat pepes ikan patin jadi smokey, lemak-lemak yang keluar dari ikan patin selama dipanggang benar-benar secara sempurna langsung berpadu dengan bumbu-bumbu dalam bungkusan pepes tersebut.
Perpaduan rasa antara lemak patin dan bumbu pepes tersebut makin kuat terasa karena tidak ada “gangguan” air yang berasal dari uap kukusan, yang umum ditemukan di pepes kukus.
Jadi cairan yang ada di dalam bungkusan pepes itu benar-benar berasal dari sari bumbu-bumbuan dan lemak ikan patin. Kemudian semuanya itu makin memperkuat rasa daging ikan patin yang lembut dan gurih. Jangan tanya lagi bagaimana rasanya kalau sudah berpadu dengan nasi pulen hangat dan wangi.
Kemudian ada satu lagi kuliner yang lumayan kompleks dari sisi latar belakang sejarahnya kalau berkaitan dengan Balikpapan.
Kuliner ini adalah Bubur Ayam Samarinda. Meskipun dari Samarinda, bubur ayam ini juga terkenal dan digemari masyarakat Balikpapan. Kalau dulu yang jadi andalan yang warungnya terletak di daerah Antasari. Berbeda dengan yang lainnya, karena berkuah banyak maka bubur ayam ini ini tidak mengundang polemik antara “diaduk” atau “tidak diaduk”.
Uniknya lagi, ternyata setelah diusut-usut ke belakang bubur ayam Samarinda ini sejatinya adalah bubur ayam Banten. Karena dulu sekali ada orang Banten yang membuka warung bubur ayam a la kampung halamannya di Samarinda, maka masyarakat waktu itu mengenal makanan ini dengan nama yang kondang hingga sekarang, sampai ada warung lain yang buka di luar Samarinda.
Lalu satu lokasi kuliner keren yang sudah lama berdiri di Balikpapan dan ironisnya saya baru tahu beberapa hari lalu, padahal lokasinya tidak jauh dari warung pepes ikan patin tadi, yaitu Kedai Kopi Nam Min.
Parahnya lagi, saya tahunya dari kanal YouTube CNN Indonesia berikut ini, yang sudah diunggah hampir setahun yang lalu.
Mungkin kapan-kapan bisa diceritain lebih panjang lagi tentang kuliner-kuliner tadi ya. Selak jam 12 malem e. 😀
Antyo®
Blogger alias narablog yang bisa menulis bahasa Jawa (dalam aksara Latin) dengan genah antara lain Blontank dan Lantip. Sandalian sebetulnya juga tapi jarang eh gak pernah melakukan.
temukonco
Pakdhe Blontank dan Mas Lantip memang digdaya dalam menulis berbahasa Jawa. Bahkan, Mas Lantip sudah bikin beberapa script andal yang memudahkan orang memahami aksara dan bahasa Jawa. Nah kalau Mas Sandalian malah baru tahu ini saya, kalau beliaunya juga kampiun menulis bahasa Jawa.
morishige
Sebagian besar kawan-kawan seangkatan saya lahir dan besar di Jawa, Mas. Tapi dari sekitar 20an orang itu cuma 1 orang yang bisa pakai kromo kalau lagi bertemu warga waktu kami praktikum ke desa-desa. Hehehe. Mungkin karena jarang dilatih dan bahasa Indonesia sudah telanjur membumi.
Btw, kuliner-kuliner Balikpapan ternyata menarik juga. Bikin ngiler bacanya. Apalagi lihat foto-fotonya. Asli atau tidak, persoalan kesekian. Lagipula susah juga kadang-kadang menentukan siapa pemilik asli sebuah makanan hehehe…
temukonco
Saya juga pas nulis ya ngiler pengen ke sana. Tapi terus ingat jaman-jaman kondisi seperti ini, apa ya mereka masih buka dan berjualan ya? Kasihan e. Semoga semua baik-bauk saja…
Zam
saya ingat waktu ke Derawan, mendarat di Balikpapan dulu sebelum lanjut ke Berau lalu ke Derawan..
saat pulang, kami mampir ke sebuah warung yang menyajikan aneka kepiting, termasuk kepiting kenari. apakah kepiting itu juga termasuk makanan khas?
temukonco
Enggak khas juga sih Mas. Beberapa memang ada yang menyukainya. Tapi mungkin kepiting kenari ini kayak gudeg deh kalau di Jogja. Biasanya untuk oleh-oleh atau menjamu tamu yang datang. Tapi kalau untuk makan sendiri, biasanya jarang sih. Nggak tau kalau sekarang ya.
Riza Firli
Enak banget ya kulineran di balikpapan..
banyak juga kuliner sea food enak2 disana..deket ewalk
temukonco
oh iyaaa… dekat e-walk itu juga keren-keren kulinernya. kalau yang di daerah Melawai, masih ramai enggak ya?