Malam itu adalah pertunjukkan ketiga sebuah lakon yang ditampilkan kelompok teater terkemuka kotaku. Lokasinya di sebuah gedung kesenian kuno peninggalan Belanda yang bergengsi.
Sama seperti malam-malam sebelumnya seluruh kursi gedung pertunjukkan dipenuhi penonton. Termasuk lantai yang ada persis di depan panggung, juga didesaki penonton pembeli tiket kelas Lesehan.
Memang, setiap pertunjukkan teater terkemuka kotaku ini selalu menyediakan tiket untuk kelas Lesehan. Selain untuk memberi kesempatan bagi para pencinta seni yang tidak mampu membeli tiket kelas tempat duduk, juga demi tetap menjaga semangat teater ini.
Semangat bahwa meskipun sudah terkenal, sering tampil di ibu kota dan manca negara, namun tetap tak akan melupakan asal mula teater ini. Yaitu sekumpulan pemuda-pemudi yang bersemangat membentuk kelompok teater tradisional di sebuah desa nun di selatan kota sana di akhir tahun 70-an silam.
Begitu kentalnya semangat tersebut, sampai-sampai meskipun sekarang teater ini sudah menggunakan cara-cara modern terutama dalam sistem manajemen dan operasional sehari-hari, tapi masih ada beberapa kebiasaan tradisional tetap melekat dan dipelihara.
Misalnya semalam sebelum pementasan, diadakan selamatan kecil-kecilan. Semua yang terlibat dalam proses pertunjukkan wajib hadir untuk berdoa dan dilanjutkan makan bersama. Hidangan yang disuguhkan pun dari dulu nyaris tak banyak berubah. Satu set tumpeng nasi kuning dengan lauk pauknya komplit.
Kebiasaan tradisional lainnya yang masih melekat terutama pada beberapa aktor dan pekerja seni senior di teater ini, yang sudah kenyang naik turun panggung sejak nyaris setengah abad lalu, adalah tentang bayaran.
Jadi, mereka –para aktor dan pekerja senior tersebut–, ingin bayaran mereka pentas malam itu diserahkan di malam yang sama setelah pertunjukkan berakhir.
Ini bukan masalah mereka egois atau sok senior sehingga ingin selalu didahulukan ketimbang yang lainnya. Melainkan karena kebiasaan tersebut mereka alami sejak jaman dulu. Ketika masih tampil dari tobong satu ke tobong lainnya.
Sudah berjalan bertahun-tahun, kebiasaan ini akhirnya juga memengaruhi istri-istri para aktor senior tersebut. Mereka selalu menanti para suami tiba di rumah, membawakan uang pendapatan hasil manggung malam itu.
Pernah teater ini mengubah kebiasaan itu, dengan langsung transfer ke rekening aktor dan kru yang terlibat dalam sebuah pementasan. Para aktor dan kru yang muda-muda menerima perubahan ini dengan antusias. Karena lebih aman dan ringkes.
Namun tidak dengan para aktor dan kru senior. Mereka jelas keberatan dengan sistem transfer. Alasannya, mereka harus menjelaskan ke mana uang hasil manggung malam itu di depan istri yang penuh tatap curiga.
Juga karena entah mengapa, meskipun uang bayaran manggung tersebut akhirnya juga masuk ke rekening mereka di esok pagi, para aktor tersebut tidak merasakan euforia yang biasa meluap-luap layaknya menerima langsung di akhir pertunjukkan.
“Rasa seneng-nya kurang total e Mas,” pada suatu kesempatan Lik Min memberi alasan.
Karenanya saya selama tiga malam ini, setelah pertunjukkan usai bertanggungjawab memberikan uang bayaran manggung para aktor senior tadi. Meskipun sesungguhnya bayaran tersebut telah dianggarkan dan disiapkan oleh manajemen beberapa hari sebelum rangkaian di teater ini pentas ini dimulai.
Alurnya, ketika pertunjukkan berlangsung saya menghadap Mbak Dhenok dari bagian keuangan. Bersama asistennya, Nuraini, kami bertiga saling menyaksikan dan menghitung uang bayaran dalam pecahan lima puluh ribu rupiah yang masih terikat kertas bawaan dari bank bertuliskan Rp5.000.000,-.
Mengapa menggunakan pecahan lima puluh ribu rupiah juga ada alasannya sendiri. Agar kalau dibelanjakan para aktor senior itu di bakul angkringan atau gudeg lesehan dalam perjalanan pulang, para bakul tidak repot mencarikan uang kembalian.
Setelah masing-masing hasil hitungan kami bertiga sama-sama tepat, persis dengan apa yang tertulis di kertas pengikat dari bank tadi, uang tersebut dimasukkan ke amplop panjang coklat. Lalu lima kuitansi masing-masing rangkap dua disusulkan masuk.
Setelah Mbak Dhenok mengoleskan lem, menutup amplop, lalu menempelkan semacam pita perekat merah sebagai segel, ia menyerahkannya ke saya untuk diserahkan pada yang berhak. Lima aktor senior yang saat ini sedang tampil. Lik Min, Kang Gotri, Pak Bhe, Pakdhe Joyo, dan Mbah Wiro.
Usai pementasan dan setelah beres ganti kostum, seperti biasa para senior beristirahat di tempat favorit mereka. Sebuah panggung kecil knock down tak terpakai, setinggi dua jengkal dari lantai berlapis tripleks. Di sana mereka lesehan menikmati kopi dan gorengan, sambil ngobrol hingga dini hari, atau sampai para istri mengirimkan SMS atau WA, “Pulang jam berapa?”
“Waaaah… Ini yang ditunggu-tunggu. Ayo duduk sini. Ngopi-ngopi…” sapa Kang Gotri melihat saya mendekat.
Bergegas saya bergabung lesehan dengan para aktor senior itu. Demi segera membagi “uang manggung” mereka, biar urusan cepat selesai.
“Seperti biasa, masih tertutup dan tersegel nggih,” saya memperlihatkan amplop pada seluruh hadirin sebelum membukanya.
“Heiisy… Jangan nyampah! Sobekan amplopnya dibuang di asbak sini saja.” Pak Bhe memergoki niat saya membuang sampah sembarangan. Saya nyengir mengikuti perintahnya.
“Monggo, kuitansinya ditandatangani dulu. Sambil uangnya saya persiapkan,” setelah mengulurkan kuitansi pada Pakdhe Joyo yang duduk persis di sisi kanan saya.
“Masih padet singset terikat langsung dari bank ya.” kembali saya menunjukkan uang yang masih terikat rapi itu.
Rutinitas ini seperti peraturan tak tertulis. Bukan lantaran mereka tidak percaya, melainkan karena kami yang junior-junior ini ingin menunjukkan kalau kami bisa dipercaya. Terutama urusan uang.
Sayangnya, malam itu nampaknya kepercayaan mereka ke saya bakal sirna.
Ternyata uang di amplop itu berkurang!
Malam-malam sebelumnya, uang yang dibagi urut senioritas mereka. Dari Mbah Wiro, Pakdhe Joyo, Pak Bhe, Lik Min, sampai Kang Gotri, jumlahnya sama. Masing-masing satu juta rupiah.
Kali ini, ketika sampai di jatah untuk Kang Gotri, kok uangnya hanya tersisa dua ratus lima puluh ribu rupiah?
Satu kali, dua kali, tiga kali, hingga mungkin lebih dari lima kali saya menghitung ulang. Hasilnya sama. Kurang tujuh ratus lima puluh ribu rupiah.
Keringat dingin mulai mengalir, apalagi ketika sadar para maestro tersebut semua sekarang pandangannya tertuju pada saya.
“Ada masalah Mas? Kok kelihatannya bingung?” tanya Mbah Wiro yang persis duduk di depan saya.
“Anu Mbah, ini kok uangnya kurang ya? Padahal tadi sudah dihitung tiga kali, lho.” jawab saya sedikit gemetar dan suara parau.
“Kurang gimana maksudnya? Tadi menghitungnya beneran tidak?” cecar Pak Bhe yang memang agak brangasan.
“Sudah Pak. Mbak Dhenok dan Nuraini saksinya.” makin ciut nyali saya rasanya.
“Coba, Dhenok dan Nuraini ditelepon, siapa tahu ada kesalahan atau bagaimana gitu.” Kang Gotri coba menenangkan.
Saya segera menelepon mereka menanyakan perihal ini. Jawaban mereka seragam. Semua sudah dihitung dan jumlahnya pas lima juta rupiah. Tidak kurang tidak lebih.
Agar tak dicurigai, saya menggeledah diri sendiri. Jaket, kantong-kantong baju dan celana, dompet, hingga tas semua saya bongkar di depan mereka. Hasilnya nihil.
Lemas, saya terduduk di hadapan mereka. Siap menerima hal terburuk yang akan menimpa.
“Heh! Ayo jangan bercanda! Kembalikan uangnya!” mendadak Mbah Wiro membentak saya dengan tatapan tajam.
“Demi Tuhan bukan saya Mbah. Apa ya saya berani lancang mencuri uang orang-orang yang saya hormati selama ini.” saya sudah benar-benar hampir menangis.
“Dudu kowe Mas. Tenang wae.” Kali ini dia berbisik pada saya.
Saya bingung dengan sikap dan cara bicara Mbah Wiro yang berubah drastis.
“Ha iya, Kamu itu yang saya maksud!” kembali Mbah Wiro memandang nyalang membentak ke arah saya.
Semua yang hadir diam. Seolah tak terjadi apa-apa. Pak Bhe menyruput kopinya, Lik Min mengambil pisang goreng lagi, dan Pakdhe Joyo menikmati rokok kreteknya. Hanya Kang Gotri yang tampak serius menyaksikan. Namun juga tak bereaksi.
“Ayo, cepat kembalikan! Mau tak hajar?” Mbah Wiro beringsut akan berdiri sambil tangan kanannya diselipkan ke balik jaket di pinggang kirinya.
“Ampun Mbaaah…” mungkin saat ini wajah saya sudah tidak karuan. Bercampur antara takut, panik, bingung, dan ingin menangis.
Sementara yang lain tidak ada yang tampak ingin menolong.
Tak sampai sedetik kemudian Mbak Wiro kembali duduk ke posisi semula. Wajahnya tersenyum cerah tidak seseram tadi.
“Mas, coba itu amplopnya dilihat lagi, siapa tahu uangnya tertinggal di sana.” dengan ramah beliau berbicara pada saya.
Tak percaya campur putus asa saya memeriksa amplop yang tergeletak itu. Saya lihat isinya, dan benar saja. Kosong!
“Coba amplopnya diguncang-guncang dengan sisi yang terbuka di letakkan di bawah. Siapa tahu uangnya nyangkut di dalam.” lanjut Mbah Wiro tenang.
Dalam kondisi putus asa seperti ini, semua saran biasanya selalu dicoba. Setidak-masuk-akal apapun saran tersebut. Dan itu yang sedang saya lakukan.
Plok!
Saya terkejut, bingung dan girang. Dari dalam amplop jatuh bertumpuk sejumlah uang.
“Nah, kuwi Tri, jatahmu.” ujar Pakdhe Joyo ke Kang Gotri sambil menunjuk ke uang itu. Menyadarkan saya dari kebingungan.
“Kok ndomblong. Ayo dihitung!” seru Pak Bhe.
Jumlahnya persis tujuh ratus lima puluh ribu.
“Nah, sudah pas kan sekarang. Ayo cepat dibagi. Ini kuitansinya sudah ditandatangani semua.” Lik Min menyorongkan salinan kuitansi-kuitansi.
Masih tidak memahami apa yang tadi telah terjadi, saya membagi uang manggung yang sekarang jumlahnya pas.
“Ini tadi sebenarnya ada apa to Mbah? Kok saya bingung?” saya memberanikan diri bertanya.
“Oh biasa Mas. Penghuni sini ada yang ngajak guyon. Mungkin mau kenalan karo kowe. Hehehe…” jelas Mbah Wiro terkekeh santai.
“Ayo kalau sudah beres semua urusannya, kita pulang. Badan saya kok pegel-pegel ini.” lanjut Mbah Wiro sambil mengemasi barangnya, mengurungkan niat saya bertanya lebih jauh.
Saya memandang semua yang hadir di situ, mereka juga sedang siap-siap untuk pulang. Seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Bahkan sempat terdengar gumaman Kang Gotri, “Nggudheg ndhog suwir rempela ati, jos iki.“
Malam itu, saya pulang dengan seribu tanya.
Pertama kali dipublikasikan dengan sedikit penyesuaian dari https://thewriters.id pada 7 Juni 2020.
Keterangan: Ini adalah postingan pertama setelah ternyata sejak sebelum Idulfitri kemarin, situs ini jadi korban inject. Semoga setelah ini semuanya aman dan lancar kembali.
Zam
woh.. menarik ceritanya…
duh duh, kok bisa kena inject.. 🙁 sempet bertanya-tanya kok ndak ada tulisan baru lagi dari njenengan, ternyata itu masalahnya…
temukonco
iya e Mas… Jadi banyak yang lapor kalo mereka klik link yang saya share di Twitter dan FB, diarahkan ke link lain yang sama sekali ndak ada hubungan e. Ini bar diutak-atik lagi. Semoga sudah aman sekarang. Aamiiin…
Jarwadi MJ
saya seolah membaca rubrik Jagading Lelembut di majalah Joko Lodang 😀
temukonco
waaaaah… ya tetep jauh lebih wangun yang Jagading Lelembut, Maaaas… Nek saya ki amatir masih… 😀
Hastira
wah menarik juga ya, memang sisitim pergajian untuk kalangan wong tua terasa aneh kalau ditransfer
temukonco
masalah kebiasaan memang susah diubah ya
Arunika
Menarik nih.. keren bangett!
temukonco
terima kasiiiih…
Antyo®
Wah ajaib dan menegangkan.
Setelah rampung baca saya lega tapi tetap gak paham kenapa bisa terjadi dan buat apa penunggu ambil duit .
Bisa masuk alaming lelembut Panjebar Semangat ini — usul Jarwadi.
temukonco
Maturnuwun Pamaaan…
Baik saya dan teman yang jadi ide cerita ini, sampai sekarang juga tidak bisa menjelaskan apa yang terjadi. Dan konon yang “diisengi” juga tidak hanya 1-2 orang saja, dan rata-rata orang baru, dengan berbagai macam bentuk benda yang mendadak hilang lalu muncul lagi. 😀
morishige
Wah, nanti kalau transaksi sudah non-tunai semua, bisa kehilangan mainan itu yang ngerjain masnya. 😀
temukonco
iya, kalau sudah non-tunai, malah sesama manusia yang bisa menghilangkannya. malah lebih medeni itu… 😀