Bertemu teman, menemukan kawan

Perjalanan

Kelas Inspirasi yang Mencerahkan

Kelas Inspirasi

Kaget campur senang waktu ada kawan yang memberi tahu tidak lama lagi Kelas Inspirasi kembali digelar di Yogyakarta.

Pastilah keinginan ikut berpartisipasi kembali muncul, dan sambil mengingat keseruan yang terjadi di Kelas Inspirasi tahun lalu.

Saat itu 24 April 2014, saya bersama 13 orang kawan lainnya pagi-pagi sekali sudah meluncur ke selatan menuju sebuah sekolah di satu desa di Kabupaten Bantul, sekolah yang jadi tempat kami menggelar kegiatan Kelas Inspirasi.

Kelas Inspirasi

Setelah berramah tamah dan berkenalan dengan Bapak Kepala Sekolah, Bapak Ibu Guru, dan murid-murid di sana, proses belajar mengajar dimulai, dan itu artinya relawan Kelas Inspirasi mulai beraksi.

Sesaat memasuki kelas V B yang menjadi kelas pertama saya di sekolah itu. Mendadak saya sadar bahwa niat saya ikut kegiatan ini perlu direvisi.

Niat yang awalnya adalah: Saya di kegiatan ini -sesuai namanya- akan memberikan inspirasi pada anak-anak di sekolah dasar desa ini dengan memberikan pengetahuan, informasi, dan pengalaman yang mungkin hampir seluruh siswa di sekolah ini belum mengetahuinya.

Tapi kenyataan berkata sebaliknya.

Ternyata menurut saya bukan kami, para pengajar,  yang umumnya memiliki lebih banyak keuntungan berupa akses informasi, pendidikan, pengalaman, dan mungkin materi, yang memberikan inspirasi kepada anak-anak sekolah dasar di sekolah-sekolah dasar itu.

Akan tetapi sebaliknya. Kami, atau paling tidak saya, yang sesungguhnya mendapatkan inspirasi dari bocah-bocah lugu dari sekolah-sekolah dasar di desa-desa yang mungkin kalau tidak pernah ikut kegiatan Kelas Inspirasi, saya tidak pernah tahu tempat tersebut.

Setiap selesai mengajar suatu kelas, seolah makin membukakan kesadaran bahwa dibanding apa yang dilalui, dirasakan, dan ditempuh murid-murid di sekolah tersebut, ternyata selama ini kita terlalu manja.

Bayangkan…

Saat kita bingung memilih sepatu keren merek A atau B untuk menggantikan sepatu lama kita yang sudah berumur tiga bulan itu, anak-anak di sekolah ini mencontohkan saya untuk tidak perduli apa alas kaki kita, yang penting harus tetap bersekolah.

Saat merasa laptop kita yang baru berusia setahun itu ketinggalan jaman sehingga kalau mengerjakan tugas-tugas sekolah terasa lambat, anak-anak di sekolah itu memperlihatkan bagaimana triknya menulis buku di meja kayu tua yang beberapa bagiannya sudah berlubang, sehingga tulisan di buku tetap rapi dan kertasnya tidak bolong atau sobek.

Saat kita sering malu menggunakan kaus olahraga sekolah kita karena warnanya “norak”, adik-adik sekolah itu bahkan senam pagi dengan baju seragam yang akan digunakan menuntut ilmu seharian nanti di kelas.

Atau, saat protes ke Pemilik Kantin sekolah kita karena mengambilkan minuman yang belum lama diletakkan di kulkas sehingga kurang dingin, anak-anak sekolah ini hanya punya pilihan kudapan dan minuman yang sangat terbatas di kantin mereka yang kecil di belakang sekolah.

Kantin

Dengan keadaan seperti itu, bagaimana bisa saya petentang-petenteng sok menjadi seorang “pencerah” bagi adik-adik yang di usia segitu sudah merasakan dan mengajarkan ke saya tentang bagaimana kerasnya hidup mereka, dan bagaimana manjanya saya menjalani hidup?

Bagaimana saya bisa sok memberikan semangat dan harapan ke adik-adik ini yang sudah punya bekal semangat dan harapan selangit sebagai senjata melewati tantangan hidup mereka?

Jujur saja,  dari mereka justru saya yang banyak mendapatkan inspirasi.  Anak-anak SD itu tangguh dan keren itu.

Karenanya,  seolah tak sabar, tahun ini saya bisa mendapatkan lebih banyak inspirasi yang mencerahkan dari bocah-bocah SD tempat kami menggelar Hari Inspirasi 16 Maret nanti. Semoga…

2 Comments

  1. dianekar

    Mengikuti kelas inspirasi itu, seolah mengikuti jejak roso sederhana. Anak2 yg amat jauh dari kepentingan. Marake senang.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.