Sejak beberapa tahun lalu saya biasanya membayar zakat dengan cara bergiliran antar badan penyalur zakat satu dan lainnya. Ceritanya sih biar merata ke mana-mana. Sementara untuk zakat fitrah saya lebih memilih membayarkannya dalam bentuk beras ke masjid dekat rumah beberapa hari sebelum Idulfitri.
Namun saat bulan puasa kemarin, melihat salah satu institusi tempat saya membayar zakat meluncurkan sebuah campaign.
Campaignnya menggalang sumbangan pemenuhan air minum untuk berbuka puasa warga negara lain yang jaraknya ribuan kilometer di sana.
Saya kok jadi berpikir beberapa kali sebelum membayarkan zakat (apalagi infak dan sedekah) melalui institusi tersebut. Dan lebih memilih menyalurkan zakat ke lembaga penyalur zakat yang lain.
Ada berbagai hal yang mendasari keengganan tersebut.
Pertama, terus terang saja ini mengingatkan kenangan jaman kecil dulu.
Ketika itu rumah masih sering dikunjungi orang-orang yang meminta sumbangan. Kalau untuk keperluan lingkungan setempat dan dilakukan oleh orang yang sudah dikenal, tidak masalah. Biasanya juga tidak sampai setahun 4 kali. Salah satunya jelas kalau menjelang peringatan HUT RI atau kalau ada lomba kampung.
Nah yang unik dan aneh adalah ternyata ada juga orang-orang tak dikenal, yang meminta sumbangan untuk pembangunan rumah ibadah. Kalau untuk rumah ibadah kampung sendiri atau kampung tetangga tidak masalah.
Lha ini, untuk pembangunan rumah ibadah yang lokasinya ratusan kilometer dari rumah saya. Saking jauhnya, harus naik kapal laut dulu atau pesawat terbang. Itupun harus dilanjutkan perjalanan darat barang beberapa jam lagi.
Dalam pikiran saya waktu itu, “Apakah orang-orang kaya di kota-kota besar di sekitar lokasi masjid itu, begitu pelitnya?”
“Sehingga cari sumbangan dibela-belain jauh-jauh ke seberang pulau sini?”
Pikiran yang kurang lebih sama kembali terbesit di benak saya ketika melihat campaign salah satu institusi penyalur zakat saya tersebut.
“Memangnya negara-negara terdekat dari negara yang mau diberi sumbangan itu pada pelit ya?”
Kalau alasannya miskin jelas tidak mungkin. Lha wong dibandingkan Indonesia pendapatan per capita mereka jauh lebih tinggi dari kita kok. Bahkan ada yang punya bangunan tertinggi sedunia e.
Mbok itu tetangga negaranya dibantu to ah! Ndak kasihan pho sampai harus jauh-jauh minta bantuan ke sini, negara yang memiliki angka prevalensi stunting tertinggi di Asia pada 2017.
Kedua, di Indonesia juga masih banyak anak-anak yang butuh uluran tangan
Berkaitan dengan masalah stunting di Indonesia yang pada Februari 2020 kemarin ternyata masih lebih tinggi dari toleransi WHO. Saya sangat percaya kalau di Indonesia, masih banyak anak kurang beruntung dan perlu uluran tangan.
Hanya saja mungkin anak-anak Indonesia ini tidak cukup terekspose. Tak seperti foto dan video anak-anak dari negara-negara yang jadi tujuan sumbangan instansi-instansi penyalur zakar tersebut. Namun ini tak mengubah kenyataan kalau mereka ada dan jaraknya sangat dekat dengan kita.
Karenanya kok saya rasanya tidak sampai hati ya. Berkeringat-keringat untuk yang jauh di sana, sampai-sampai yang dekat di sini seolah tidak cukup layak dibantu.
Ketiga, masalah jarak dari Indonesia ke negara tersebut.
Dengan jauhnya jarak dari Indonesia, kira-kira kalau ada orang menyumbang Rp.100.000, berapa persen yang benar-benar sampai ke penerima sumbangan?
Dan berapa persen yang “habis” untuk pengeluaran-pengeluaran yang seharusnya bisa dihemat, jika sumbangan itu berasal dari daerah-daerah yang lokasinya dekat dengan si penerima sumbangan?
Sebagai gambaran kasar, pada Oktober 2019, ketika harusnya sudah masuk musim penghujan tapi di wilayah Gunungkidul dan sekitarnya masih panas kering kerontang, harga 1 tangki air bersih kapasitas 5.000 liter dapat mencapai harga Rp.400.000.
Bayangkan kalau waktu itu ada sumbangan sebesar Rp.400.000.000. Tentunya biaya sebesar itu setidaknya bisa untuk membayar 1.000 tangki air bersih, dengan total bisa mencapai 5.000.000 liter air bersih.
Semua jelas dan nyata sasarannya. Saudara-saudara kita, sesama bangsa Indonesia yang menderita kekeringan akibat kemarau berkepanjangan.
Nah dengan besar biaya yang sama dari Indonesia. Berapa liter air yang benar-benar sampai ke anak-anak yang ada ribuan kilometer di sana?
Keempat, bicara masalah musim kemarau.
Tahun ini, jika ada bencana kekeringan juga, maka itu tidak sekadar mengancam lahan pertanian saja. Namun juga mengancam nyawa saudara-saudara kita dan anak-anak mereka di daerah-daerah yang biasa dilanda kekeringan.
Ancaman nyawa tersebut tidak lagi hanya masalah dehidrasi, langka pangan, atau penyakit kulit dan pencernaan.
Melainkan juga ancaman gelombang kedua ledakan pageblug ini. Sebab di masa-masa sulit air nanti, untuk minum saja susah, apalagi untuk cuci tangan. Padahal cuci tangan berkali-kali dianjurkan sebagai salah satu cara pencegahan biang kerok bencana penyakitu ini.
Kondisi tersebut membuat mereka harus memilih antara: mencegah penyakit tapi dehidrasi, atau dahaga hilang tapi terancam penyakit yang belum ada obatnya?
Karena alasan-alasan tersebut, kali ini saya menyalurkan zakat saya melalui lembaga yang lain saja dulu. Lembaga-lembaga yang menyalurkan dananya ke pihak-pihak yang membutuhkan dan berhak di dalam negeri.
Mohon maaf dan semoga bisa dimaklumi.
Zam
saya juga bayar zakatnya ke Indonesia, mas. menyalurkan lewat orang tua saya, karena saya tahu benar orang tua saya akan menyalurkan ke yang benar-benar membutuhkan di sekitar sana.
di sini sebenarnya juga membuka penyaluran zakat fitrah, tapi atas pertimbangan yang sama, misal akan disumbangkan ke Palestina dan derah konflik, saya merasa kurang sreg. akhirnya saya memilih membayar zakat ke Indonesia, tentunya nilainya disesuaikan, agak lebih banyak dari yang biasa dibayar di Indonesia karena kurs.
temukonco
jadi pertimbangannya kurang lebih saya ya Mas? temen saya juga sampai komentar, “kalau cuma punya satu celana nganggur, sementara ada dua anak yang telanjang, satu anak sendiri satunya lagi anak orang, tentunya kita akan memberikan celana itu ke anak sendiri kan?” 🙂
morishige
Biaya transpor ke sana kayaknya udah bisa buat zakat ke banyak orang juga, Mas…
Pay
can’t agree more
semut di seberang lautan terlihat, gajah di pelupuk mata engga kelihatan
kurang lebih seperti itulah. emang cukup aneh sih fenomena ini.
temukonco
itulaaaah…