Kali ini kita bercerita tentang nasi tumpeng. Hampir semua orang Indonesia tahu dan pernah melihat tumpeng. Nasi yang dimasak dan dibentuk kerucut ini biasanya selalu hadir dalam acara-acara syukuran, slametan, peresmian tempat/rumah baru, atau saat memulai usaha.
Sebagai tradisi peninggalan nenek moyang yang lestari hingga saat ini, tumpeng merupakan simbol rasa syukur pada Pencipta serta perwujudan hubungan vertikal antara hamba dengan Tuhannya. Kemudian ada lagi yang menambahkan bahwa lauk pauk dan sayuran yang beraneka ragam di sekitar tumpeng tersebut, melambangkan kita, manusia, yang terdiri dari berbagai macam watak, sifat, dan bentuk.
Jaman sekarang tumpeng mendapatkan peran tambahan, selain jadi bagian hidangan utama slametan/kenduri/pesta bagi para tamu –dan tamu-tamu biasanya lebih suka hanya menghabiskan sayur urap atau pecel, dan lauk pauk, sementara nasi tumpengnya masih tersisa banyak karena sedikit sekali yang mengambilnya–, tumpeng juga jadi salah satu elemen penting acara tersebut.
Tumpeng biasanya berperan sebagai simbol tanda terima kasih dari yang empunya hajat pada tamu atau tokoh kehormatan yang membuka/meresmikan acara atau yang memimpin upacara slametan. Caranya dengan melakukan pemotongan pada bagian atas kerucut tumpeng, lalu langsung diletakkan di piring kemudian diberi lauk yang ada di sekeliling tumpeng itu secukupnya, setelah itu diserahkan pada sang tamu atau tokoh yang dihormati tadi.
Ternyata, secara simbolis perlakuan terhadap tumpeng yang seperti itu kurang tepat. Tak cuma sekali dua ada beberapa kawan yang berkomentar dan mengingatkan bahwa sebenarnya memotong tumpeng seperti itu saru alias tabu, dan di masa dulu nyaris tidak pernah dilakukan.
Kenapa saru? Sebab (masih ingat kan tadi bahwa tumpeng adalah simbol hubungan vertikal antara hamba dengan Penciptanya?), dengan memotong tumpeng seperti itu, maka seolah kita memotong hubungan vertikal kita, yang hamba ini, dengan Tuhan.
Itulah mengapa jaman dahulu prosesi seperti ini tidak pernah dilakukan. Coba diingat-ingat, sebelum tahun 70-an pernahkah ada prosesi slametan/kenduri yang di dalamnya ada acara pemotongan tumpeng Lalu, kenapa kok kemudian ada kebiasaan potong tumpeng?
Belum tahu pasti dari mana asal mula kebiasaan ini muncul, tapi besar kemungkinan ini karena pengaruh budaya barat yang dalam pesta dan perayaan (terutama ulang tahun dan pernikahan), ada prosesi penyerahan potongan roti ulang tahun/wedding cake pertama pada orang yang dianggap paling berarti/paling penting/paling disayang yang hadir di acara tersebut.
Kemudian, sangat mungkin kebudayaan barat tersebut diterapkan oleh orang-orang Indonesia pada tumpeng slametan/kendurian mereka tanpa menyadari ada makna-makna simbolis yang mereka langgar.
Lha terus, bagaimana cara orang dulu memperlakukan tumpeng?
Kalau tidak keliru, biasanya dalam sebuah acara kenduri/slametan, tumpeng yang dialasi tampah dan dikelilingi oleh lauk pauk dan sayur mayur (biasanya gudangan/urap, kalau yang pakai pecel keliatannya tumpengan yang sudah agak modern), diletakkan di tengah-tengah hadirin.
Setelah sambutan seperlunya yang menjelaskan dalam rangka apa kenduri/slametan tersebut diadakan, acara dilanjutkan berdoa bersama yang dipimpin oleh pemuka agama setempat.
Saat acara doa bersama tersebut selesai, biasanya sang empunya hajat akan mempersilahkan pemuka agama mengambil giliran terlebih dahulu untuk mengambil nasi, lauk-pauk, dan sayuran dari tampah tempat tumpeng utama tersebut berada.
Pemuka agama tidak akan memotong pucuk tumpeng tersebut, tetapi dengan centong mengambil nasi dari salah satu sisi bawah tumpeng ke piringnya.
Kemudian diikuti oleh pada hadirin lain, mengambil dari sisi bawah. Jikapun pucuk tumpeng akhirnya runtuh, itu bukan karena dipotong tapi karena bagian bawahnya sudah bersama-sama diambil para hadirin, sekaligus ini semacam simbol (lagi) bahwa akhirnya para hadirin telah menikmati dan menerima rejeki dan berkah dari Sang Maha Kuasa. Gitu.
Kalau nanti ada yang komentar, ”Halah, cuma sekadar simbol aja diributin, yang penting kan acara jalan, tumpengnya enak, semua yang hadir makan…”
Ya silahkan saja jika berpendapat demikian, tapi jika dipikirkan kembali baik-baik, lha wong hubungan dengan pacar/istri yang sesama manusia saja biasanya disimbolkan dengan sesuatu, misalnya cincin, gelang, tattoo, boneka, atau sepasang bantal berbentuk hati bertuliskan nama berdua, masak ya hubungan kita dengan yang Kuasa tak boleh disimbolkan dengan sesuatu, yang sekaligus bentuk rasa syukur kita padaNya.
Lalu, saat kita berpisah dengan kekasih, biasanya simbol-simbol itu dibuang, dimusnahkan, atau yang lagi nge-tren sekarang dijual di flea market. Nah kalau dalam kasus tumpeng, masak ya kita tega memotong simbol hubungan vertikal kita dengan Pencipta secara sengaja?
Tapi kalau tetap saja ada yang menganggap semua itu sekedar simbol, ya silahkan. Yang jelas, keabaian kita pada sebuah simbol dapat mengakibatkan simbol-simbol yang selama ini baik dan mewakili kita serta masyarakat kita, tergeser oleh simbol-simbol berasal entah dari mana yang dipaksakan pada keseharian kita.
Zam
woh.. baru tau.. sungguh mencerahkan~
temukonco
terima kasiiiiih… 😀
Hastira
betul sekali banyak filosofi dari nasi tumpeng yang seperti gunung itu