Bertemu teman, menemukan kawan

Boga

Cara menceritakan makanan yang menggiurkan

menceritakan makanan opor ayam telur lebaran

Opor telur ayam di hari Lebaran

Menjelang hari raya Lebaran Idulfitri, selain kenangan-kenangan masa kecil yang menyenangkan seputar prosesi perayaan hari besar tersebut, hal yang turut terbesit di ingatan adalah tulisan-tulisan karya Umar Kayam seputar Lebaran dan cerita-ceritanya tentang makanan.

Kelihaian Umar Kayam merangkai kata dalam menceritakan makanan, pada level tertentu tak hanya mampu memberikan gambaran seperti apa makanan tersebut bentuk dan rasanya, namun bisa sampai membuat pembaca terbit air liurnya. Tergoda ingin mencicipi makanan yang diceritakan tersebut.

Sampai-sampai ungkapan mak nyuss yang kerap diucapkan Bondan Winarno ketika membawakan acara wisata kuliner di televisi, meminjam ungkapan yang kerap digunakan Umar Kayam dalam tulisan-tulisannya di kolom mingguan surat kabar Kedaulatan Rakyat sekitar tahun 80-an sampai 90-an, untuk menggambarkan dahsyatnya kenikmatan hidangan yang dicicipi.

Bondan Winarno sendiri pun tak kalah paripurnanya dalam menceritakan makanan baik dalam format tulisan maupun ketika sedang di depan kamera ketika memandu acara yang dulu sangat ditunggu-tunggu para pecintanya.

Kekampiunan Umar Kayam menceritakan makanan sampai membuat Mas Jaki, seorang kawan yang berprofesi sebagai ASN/Penulis/Pengamat musik/Pemerhati kuliner/Pembuat tongseng, dengan ciamik menjelaskan bagaimana kemampuan beliau tersebut pada postingan pertamanya dalam rangkaian kegiatan #31HariMenulis yang masih berjalan hingga 31 Mei 2020 nanti.

Kawan saya itu mengambil salah satu cerpen karya beliau berjudul Menjelang Lebaran untuk menunjukkan cara menceritakan makanan a la Umar Kayam. Berikut potongan tulisan dari cerpen yang dimaksud:

“Hidangan buka puasa sore itu terdiri dari agar-agar dingin dengan sirup merah yang manis sekali, risoles dan es teh manis. Kemudian untuk makan malam sup kacang merah dengan daging sekengkel yang jadi kesenangan Kamil dan anak-anak ditambah dengan perkedel kentang dengan isian daging yang cukup tebal. Hanya dua macam itu, tetap Sri sendiri yang sengaja memasaknya. Maka kaldu sup itu juga lebih terasa kental dan mirasa, kacang merahnya juga gemuk-gemuk merah. Dan perkedelnya juga terasa lebih konkret karena banyak dagingnya.”

Menjelang lebaran (Umar kayam)

Membaca tulisan tersebut langsung terbayang jajaran hidangan buka puasa yang diceritaka tersebut, sekaligus secara reflek jakun naik turun menahan air liur yang mendadak terbit.

Uniknya, selain mengobarkan semangat makan, tulisan itu juga dengan sukses membethot syaraf-syaraf jenaka para pembacanya sehingga setidaknya akan sedikit tersenyum simpul. Misalnya ketika membaca “kacang merahnya juga gemuk-gemuk merah”.

Kacang Merah (Photo by Pijarn Jangsawang form PxHere)

Sependek ingatan dan pengetahuan saya, sebelum Umar Kayam nampaknya belum ada penulis yang menggunakan kata “gemuk” untuk kacang merah.

Kalaupun ada itu biasanya dilakukan oleh para penjual sayur di pasar saat menawarkan dagangannya, itupun biasanya untuk sayuran. Seperti “ditumbasi Bu, sawine lêmu-lêmu” (Silakan dibeli Bu, sawinya gemuk-gemuk).

Atau pada sebaris senggakan di lagu Jawa Sinom Parijoto yang bunyinya, “janji sabar aja dha kesusu, sawah e jêmbar-jêmbar pari ne lêmu-lêmu” (Janji sabar jangan tergesa-gesa, sawahnya luas-luas padinya gemuk-gemuk).

Mungkin ada yang berpikir, “Ya jelaslah tulisannya mengundang rasa ingin mencicipi, lha wong menilik judulnya, tulisan itu dibuat ketika bulan puasa. Bisa jadi kan pembacanya juga menikmati tulisan itu ketika bulan puasa juga?”

Walaupun buat saya alasan itu kurang kuat. Karena ketika sudah jadi tulisan, cerpen itu bisa dibaca kapan saja, tidak harus menunggu bulan puasa. Namun mungkin salah satu tulisan Umar Kayam di kolom Kedaulatan Rakyat yang dimuat menjelang Tahun Baru 1988 lalu (dan tidak pas bulan puasa), bisa mematahkan alasan tersebut.

“Para priyayi kakung putri yang bagus, ngganteng, ayu, gandhes, kewes pada naik Mersedes, BMW, Toyota pergi ke restoran yang mahal-mahal. Dhahar bestik yang kandel-kandel, tebel tapi dagingnya empuk-empuk. Kalau diiris dengan pisau mak nyuss kuahnya dleweran campur sedikit darah. Kentangnya ada yang digoreng, ada yang diongklong, ada yang digodok. Habis dhahar begitu terus disambung dhahar poding. Podingnya merah, ijo, kuning. Susunya juga dleweran ke bawah. Rasanya juga mak nyuuss muanis seger!”

Menjelang tahun baru (umar kayam)

Sedikit penjelasan, karena konteksnya potongan tulisan di atas adalah pendapat Mister Rigen yang merupakan asisten rumah tangga Pak Ageng ketika membayangkan bagaimana serunya perayaan malam tahun baru a la orang kaya di Jakarta. Maka Mister Rigen dalam kapasitasnya sebagai seorang asisten rumah tangga berasal dari Pracimantoro – Wonogiri sana, belum paham kalau yang dleweran bersama kuah ketika daging empuk-empuk diiris itu bukan darah, melainkan myoglobin yaitu semacam protein yang hanya ditemukan di jaringan otot. Dan sama halnya dengan sumber-sumber protein lain yang umumnya menjadi lauk pauk, seperti tahu, tempe, ikan, telur, ayam, dan daging. Rasanya pasti tidak kalah mak nyusss-nya!

Nah, kembali ke potongan tulisan Umar Kayam yang menceritakan makanan di atas. Tulisan tersebut menurut saya selain memberikan gambaran tentang hidangan apa saja yang tersedia dan biasa disantap ketika pesta tahun baru orang kaya di Jakarta, juga dengan sukses membuat saya ingin turut mencicipinya. Meskipun sedang tidak dalam bulan puasa.

Tentu saja untuk dapat menceritakan makanan dengan cara seperti itu dan menimbulkan efek sedemikian, memang perlu latihan dan pengalaman bertahun-tahun.

Dan dalam konteks Umar Kayam, mungkin kertas ber-rim-rim dan puluhan pita mesin tik, karena jaman dulu belum ada komputer yang lengkap dengan perangkat lunak word processor-nya. Perangkat lunak yang memungkinkan kita melakukan kesalahan berulang-ulang tanpa harus mengganti kertas di mesin ketik serta menghabiskan pita ketiknya. Karena tinggal tekan tombol backspace atau delete di keyboard laptop kita. (Sudah enak gitu, ngerjain skripsi masih lama? 😀 😀 😀 )

Sehingga menghasilkan cara menceritakan makanan yang dapat menggoda selera pembacanya, sekaligus memberikan penjelasan seputar makanan tersebut.

Setidaknya, cerita makanan yang disampaikan tidak sekadar “enak banget sampe ga ngerti lagi deh”, atau “enaknya sampai mau nangiiis.” Untuk yang terakhir, jika tidak memahami konteksnya, mungkin saja dapat disalahartikan kalau si pencerita sedang menjelaskan pengalaman malam pertamanya.

Tapi kan itu penulis jaman dulu, kasih contoh yang jaman sekarang dong!

Kalau jaman sekarang, mungkin tulisan-tulisan Mas Nuran, dan tulisan-tulisan di Eatymologist bisa mencerahkan.

Oh iya, Eatymologist ternyata juga sudah menerbitkan dua edisi versi online majalah kuliner BUMBU. yang dapat diunduh gratis di sini:

Majalah kuliner – BUMBU – Edisi 1
Majalah kuliner – BUMBU – Edisi 2

Sementara itu mungkin untuk yang lebih kekinian (alias mereka yang lebih seneng nonton video ketimbang membaca 😀 ), vlog-nya Ria SW keren juga lho. Walaupun tak jarang pakai istilah-istilah “speechless”, “yummy”, “super yummy”, dan semacamnya, namun sebelum atau setelahnya biasanya juga diceritakan tentang apa yang dimakan, terbuat dari apa saja, dan rasanya bagaimana (dengan bahasa yang dipahami masyarakat umum, tidak sekadar ‘enaknya sampai mau nangis’).

Siapa pencerita makanan idola teman-teman?

Oh iya, Selamat Hari Raya Idulfitri 1441 H. Mohon maaf lahir batin atas semua kesalahan yang saya perbuat ya…

Selamat Idulfitri 1441 H dari TemuKonco

5 Comments

  1. Zam

    haha.. ini sepertinya menyindir, atau setidaknya mengupas fenomena food-vlogger yang bahasanya terbatas.. 🤭

    saya dulu ikut grup milis Jalansutra, yang salah satu punggawanya Pak Bondan, dan mereka ini kalo menggambarkan rasa juga juara, bahkan bisa memberi informasi dari mana sejarah dan asal-usulnya. tak heran Pak Bondan juga bisa membahas ini karena informasinya memang berasal dari salah satunya milis itu..

    • Ora Maaaas… Hahaha…
      Saya juga pernah ikut milis Jalansutra. Wah jan isinya marakke ngiler dan penasaran ingin tahu dan mencicipi rasa makanan yang sedang dibahas. Kalau endak pas pada menjelajah pasar tradisional, berburu kuliner yang ada di sana.

  2. Bergizi banget ini tulisannya, Mas. Sekarang saya jadi tahu asal mula ekspresi maknyus-nya Pak Bondan. 🙂

    Kalau berselancar di YouTube, jarang sekali sih saya buka-buka kanal kuliner. Pernah nggak sengaja mampir ke entah kanal apa, pas nonton saya kayak malah lagi nonton video ASMR. 😀 Tapi kadang baca tulisan kuliner di Roads and Kingdoms. Lebih cocok dengan tulisan-tulisan kuliner seperti itu karena yang lebih sering diceritakan skena-nya ketimbang makanan itu sendiri.

  3. Wah, makasih rekomendasi bacaannya, Mas. 😀 Tak coba main-main ke Longreads. 😀

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.