Saat bertamasya di suatu tempat baru, atau sekadar ingin mencari tempat makan baru di lokasi yang masih asing bagi kita, biasanya kita sering bingung memutuskan ingin makan di warung atau rumah makan yang mana.
Apalagi jika kita sama sekali tidak memiliki informasi mengenai tempat makan mana yang paling enak, dan mana yang sebaiknya dihindari.
Memang biasanya yang dilakukan adalah memilih mana tempat makan yang ramai karena biasanya itu tanda kalau hidangannya di sana enak. Kuncinya adalah ramai = laris = enak. Biasanya sih gitu.
Tapi apakah semudah itu? Kadang ada yang memang ramai tapi ternyata yang datang adalah kawan dan sanak kerabat pemilik warung saja, yang datang bukan karena cita rasa hidangannya yang prima. Sehingga kelarisannya dipertanyakan.
Ternyata ada beberapa tips orang-orang tua di jaman yang setidaknya mampu memudahkan kita memilih tempat makan di tempat yang masih asing ini. Jadi semacam pedoman untuk mengenali ciri-ciri warung laris di tempat baru.
Biasanya saran yang sering diberikan adalah: Perhatikan parkirannya. Masuk akal juga sih, kalau parkiran di depan warung tersebut penuh, kemungkinan besar warung tersebut hidangannya enak, karena jumlah kendaraan yang parkir biasanya berbanding lurus dengan banyaknya pengunjung.
Apalagi jika plat-plat nomer kendaraan yang parkir tersebut berasal dari berbagai macam daerah, kemungkinan warung tersebut telah kondang sampai kota/daerah lain. Namun sebelumnya harus dipastikan bahwa kendaraan-kendaraan tersebut bukan bis antar kota antar propinsi, sebab jika benar demikian maka tips ini mungkin tak akan berguna.
Kemudian ada juga yang menyarankan untuk memperhatikan kucing-kucing yang ada di warung tersebut. Katanya, jika kucing-kucing di warung tersebut gemuk-gemuk, bisa jadi makanan warung ini tidak enak.
Alasannya sih, karena makanan di warung tidak enak, maka tidak banyak yang membeli. Kalau taak banyak pembeli, akan banyak yang tersisa. Nah, sisa-sisa makanan tersebutlah yang menjadi rejeki bagi kucing-kucing yang berkeliaran di warung ini. Tapi perlu dicatat, kucing yang dimaksud di sini adalah kucing biasa lho ya, bukan kucing ras yang memang perawatannya spesial. Jaman dulu para pemilik warung yang mampu memelihara kucing ras jumlahnya masih sangat sedikit.
Ada lagi, jika warung yang akan kita datangi adalah warung bakmi/nasi goreng yang biasa menggunakan ayam, atau warung sate kambing, saya pernah dengar orang-orang tua berpesan untuk mengamati jumlah ayam atau kambing yang tergantung di warung makan tersebut.
Makin banyak ayam atau kambing yang tergantung di warung tersebut, biasanya itu tanda warung yang bersangkutan semakin laris. Bukankah dengan banyaknya pelanggan yang datang, pemilik warung harus mempersiapkan bahan baku yang lebih banyak? Nah itulah alasan dibalik tips yang satu ini.
Satu lagi tips yang keliatannya unik tapi kalau dipikir-pikir masuk akal juga, ada yang berpesan untuk memperhatikan jumlah kalender dinding yang ada di seluruh dinding warung tersebut. Biasanya ini bisa dipraktekkan di warung soto, bakso, atau nasi goreng/bakmi yang yang agak besar.
Biasanya di kalender-kalender tersebut berasal dari berbagai toko, warung swalayan, bengkel, dan bank yang berada di kota tersebut. Mungkin ini diperlakukan seperti iklan bagi produk yang tertera di kalender tersebut oleh si pemasang.
Oh iya, walaupun banyak kalender terpasang, perhatikan juga apakah kalender-kalender yang tergantung di dinding tersebut up to date atau masih memperlihatkan bulan yang telah lewat atau bahkan tahun yang telah lalu. Jika ini terjadi, mungkin sebaiknya kita mencari warung yang lain saja.
Sebenarnya ada satu tips lagi sih, tapi mungkin tips yang satu ini lebih nyaman kalau dibahas secara japri. Gimana, ada yang berminat? 🙂
UPDATE:
Seiring perkembangan teknologi, ada lagi ciri yang bisa dilihat untuk menebak laris tidaknya sebuah warung. Ciri tersebut adalah: banyaknya pengemudi ojek online (yang aplikasi ojek online-nya ada jasa membeli dan mengantarkan makanan), yang nongkrong di warung/restoran tersebut.
Semoga ini tidak luput-luput banget ya ciri-cirinya. 🙂
Originally published at Truly Jogja on February 17, 2015.
1 Pingback