Namanya liburan, sepanjang apapun dia tetap saja rasanya singkat. Sama seperti libur Idul Fitri kali ini, tanpa sadar kita sudah mulai mendekati hari ke-7 Lebaran. Padahal kelihatannya baru kemarin malam kita mendengar suara takbir berkumandang di mana-mana, dan pagi harinya ketupat lebaran dan aroma opor ayam tercium nyaris di setiap tikungan gang kecil di kampung-kampung.
Dahulu di beberapa daerah di Jawa (atau setidaknya di tempat simbah-simbah saya), mendekati hari ke-7 Lebaran, kembali orang-orang membuat ketupat. Kegiatan ini mereka lakukan dalam rangka merayakan Badha Kupat alias Lebaran Ketupat, yang jatuh di setiap hari ke-7 setelah Idul Fitri. Suasana yang mulai suntrut karena harus kembali masuk kerja, bisa sedikit terobati dengan ke-ria-an perayaan ini.
Tradisi menyenangkan ini konon muncul dari kegiatan umat Islam yang melakukan puasa sunnah Syawal mulai hari ke-2 hingga hari ke-7 Lebaran. Nah, untuk menandai hari ke-7 yang buat beberapa orang menjadi hari terakhir puasa Syawal ini, maka diadakanlah lebaran ketupat.
Hidangan yang disajikan di lebaran ketupat ini umumnya bukan lagi opor ayam seperti seperti yang disuguhkan pada 1 Syawal. Ha ya mosok seminggu terus-terusan ketemu opor ayam lho.
Entah di tempat lain, tapi seingat saya kalau di simbah saya biasanya ketupat ditemani oleh jangan tolo yang terdiri –tentu saja– dari kacang tolo (Vigna unguiculata ssp. unguiculata), tahu dan kentang yang dipotong dadu, kadang-kadang ada udang ebi atau kikil, krecek, beberapa cabe merah utuh, dan tentu saja kuah santan yang relatif lebih ringan ketimbang kuah santan opor.
Tidak hanya sayur pendampingnya yang beda, si ketupat-nya itu sendiri juga berbeda dari yang biasa disuguhkan saat Idulfitri. Karena yang disajikan pada kesempatan ini adalah ketupat luar.
Isinya sebenarnya sama beras yang direbus sampai jadi padat di dalam bungkus anyaman janur. Hanya saja yang membedakan adalah bentuk dari ketupat luar ini yang cenderung sedikit memanjang. Tidak seperti bentuk ketupat yang biasa kita kenal (yang kalau dibelah berbentuk seperti belah ketupat itu), tetapi ini bentuknya lebih mirip persegi panjang.
Sesuai namanya, ketupat luar disuguhkan pada perayaan lebaran kupat karena sebagai simbol kalau kita sudah benar-benar ada di luar bulan Ramadan, serta sudah memenuhi anjuran puasa sunnah di bulan Syawal. Entah ini ide dari siapa, tapi tiap saya bertanya ke beberapa pihak, jawaban yang diterima kurang lebih sama seperti itu.
Tapi sekarang sudah jarang yang “mematuhi” aturan bentuk ketupat itu. Tidak apa yang penting perayaannya tetap meriah dan berbahagia.
Hanya saja, akhir-akhir ini saya pernah mendengar sampai ada yang “melarang” perayaan lebaran ketupat.
Alasannya, seperti biasa, karena tidak pernah dicontohkan di masa lalu di tanah Arab sana. Sebagai gantinya, keseruan dan kemeriahan kegiatan lebaran ketupat yang diwaarnai suguhan kuliner unik dan istimewa para pendahulu kita, dihilangkan kemudian diubah jadi kegiatan berbuka bersama di tanggal 7 Syawal.
Entahlah bagaimana pendapat orang lain, tapi kalau saya keliatannya akan tetap memeriahkan lebaran ketupat ini.
Demi mengenang simbah-simbah saya, demi mengingat kalau ada yang namanya ketupat luar, demi melestarikan jangan tolo sebagai warisan budaya, demi kejayaan nusantara, dan demi tetap menjadi orang INDONESIA.
The Habaib
Ketupat luar? Wah, menarik sekali ya, di Jakarta belum sempet ketemu sama bentuknya yang panjang ini. Lucu juga 🙂
temukonco
tapi sekarang juga sudah mulai jarang yang melakukan ritual ini, apalagi membuat ketupat luar-nya Kak…