Sepeda motor warna merah mungkin tidak pernah ditulis sebagai penanda enaknya hidangan sebuah warung, seperti penanda-penanda lain yang telah banyak dibicarakan dan ditulis media dan para petualang kuliner.
Seperti berapa banyak kambing/ayam yang digantung di etalase/gerobak penjualnya, jumlah perusahaan/instansi yang kalendernya digantungkan di dinding warung, kuantitas para pengemudi ojek daring yang mangkal di depan restoran, bahkan tipe-tipe konsumen yang kerap mengunjungi tempat makan tersebut.
Saya menemukan warung enak dengan penanda unik ini beberapa bulan sebelum pandemi terjadi. Tepatnya ketika diajak kawan-kawan ke warung itu saat jeda makan siang.
Sebenarnya agak enggan karena sehari sebelumnya sudah pernah makan di situ dan ternyata rasanya biasa saja. Tidak ada yang istimewa.
Tapi daripada makan siang sendiri kalau memilih warung lain, terpaksa saya kembali ke warung itu. Hanya saja kali ini sudah dengan mempersiapkan mental menghadapi rasa hidangan warung itu yang tidak begitu bisa dipujikan.
Apalagi setelah pesanan terhidang, dari sisi penampakan sama sekali tidak ada perbedaan dengan yang kemarin. Mulai dari kuah, mi, bihun, bakso, bakso goreng, dan tahu gorengnya. Semuanya mirip.
Namun ketika suapan pertama, kesan-kesan tadi langsung berubah. Cita rasanya sama sekali berbeda dengan kemarin. Kali ini rasa kaldu yang lembut dan gurih benar-benar terasa. Tidak seperti kemarin yang didominasi kehadiran MSG.
Kuah kaldu lembut gurih itu juga makin menambah nikmatnya rasa bola-bola bakso dan bakso goreng. Singkatnya, benar-benar berbeda, seolah-olah bukan sedang makan di warung yang sama dengan kemarin.
Tidak bisa menahan penasaran, saya coba bertanya pada penjualnya, seorang ibu-ibu berusia sekitar akhir 20-an hingga pertengahan 30-an, yang dari tadi bersiaga menerima pelanggan.
Supaya tidak terlalu frontal, tentu saja pertanyaannya pakai teknik “melipir” dulu. Mulai dari: Mengomentari warungnya yang ramai, buka dari jam berapa sampai jam berapa, hingga tentang berapa lama jualan di tempat ini.
Ternyata, pertanyaan “melipir” terakhir itu yang jadi kunci jawaban segala penasaran saya.
Memang ibu ini bersama suaminya dan dua orang karyawannya sudah lama membuka usaha warung bakso ini. Tapi, ini serunya, di berjualan di warung ini secara berbagi shift bersama adik iparnya, dengan rotasi berganti tiap 7 hari alias seminggu.
Jadi kalau minggu pertama dari Jumat hingga Kamis tim adik iparnya yang berjualan, nah di Jumat hingga Kamis berikutnya giliran tim ibu dan suaminya yang berjualan.
Bisa sampai ada pengaturan seperti itu karena ternyata warung bakso ini adalah warisan dari bapak mertua, yang sudah memiliki beberapa cabang warung di Jogjakarta. Salah satunya ya di tempat ini.
Awalnya cabang ini diserahkan sepenuhnya oleh bapak mertua ke adik ipar si ibu ini. Entah mengapa si adik ipar agak enggan buka warung di sini setiap hari. Padahal di sisi lain untuk menjual lokasi ini bukan sebuah pilihan bijak, karena para pelanggan dari jaman ayah mertua di warung ini sudah lumayan banyak.
Akhirnya ya itu tadi, diambil jalan tengah dengan sistem shift tersebut. Meskipun sebenarnya suami si ibu ini juga sudah punya lokasi warung sendiri beberapa kilometer di sebelah selatan warung ini.
Namun demi tetap menjaga dan mempertahankan para pelanggan, suami ibu ini bersedia menangani warung ini di minggu-minggu tertentu sesuai jadwal yang disepakati tadi.
Mendengar jawaban tersebut saya langsung sadar, kalau kemarin saat berkunjung adalah hari Kamis, dan hari itu adalah Jumat. Serta para pegawai di warung itu benar-benar berbeda dengan para pegawai di hari sebelumnya. Pantas saja cita rasanya berbeda.
Tapi masih ada satu masalah lagi.
Saya memang sela, tapi ya tentu saja tidak se-sela itu untuk mengingat dan menghitung kapan giliran shift suami ibu ini bertugas di warung itu.
Mungkin si ibu bisa menangkap kekhawatiran saya, sehingga dia menjelaskan, “Pokoknya kalau ada sepeda motor merah suami saya ini parkir di depan warung, berarti itu giliran suami saya jaga di sini, Mas. Jangan ragu, mampir saja.”
Percaya atau tidak, ini adalah kejadian asli. Kalau tidak percaya silakan berkonsultasi dengan Mas @yoyoksaurus di akun instagramnya. Beliau adalah kawan saya yang juga salah satu saksi mata “warung bakso sepeda motor merah” ini.
tukang jalan jajan
Wah… masalah juga nih. beda dapur, beda tangan pasti beda rasa. Kasian juga pelanggan kalau ngga paham ritme kerjanya hehehe. Bearti kalau mau jajan kesini, kudu nunggu motor merah dulu ya 🙂
temukonco
hahaha iyaaa… hanya pelanggan sejati yang benar-benar dekat sama Warung ini yang bakal langsung paham 😀
Dian Restu Agustina
Aku sebagai pelanggan jadi bingung kalau gitu, meski ada penanda sepeda motor merah..lha kalau itu motor pas dipakai bentar buat pergi beli garam gimana. Sayang kalau gini, ada sistem shift, beda tangan beda rasa, beda tim beda layanan pasti…Semoga ada solusi, sekalian aja di handle sendiri ibu ini
temukonco
Nah itu serunya, Kak. Ibunya dan suaminya ini sebenernya udah punya kios warung sendiri sekitar 1 – 2 km sebelah selatan dari warung ini. Tapi atas nama menjaga warisan ortu, mereka tetep buka di Warung ini secara giliran dengan si Adik.
Sepeda motor merah itu akan selalu stand by selama warungnya buka, dan untuk keperluan macem-macem, mereka udah punya kendaraan lain untuk itu. Jadi biasanya kalo pada nggak liat sepeda motor merah, para pelanggan langsung meluncur ke warung yang sebelah selatan. 😀
Siti Mustiani
Pas baca artikel sampai habis baru ngeh dengan sepeda motor merah, okeh catet. Hahaha, menarik juga nih ceritanya, soalnya belum pernah nemu warung makan yang konsepnya serupa.
temukonco
Keliatannya enggak banyak yang kayak gini deh, Kak. Hahaha…
Listiorini Ajeng Purvashti
Eh tapi aku pun merasakan hal yang sama loh kalo soal bakso dan makanan lain. Kalau yang masak beda, rasa pun juga suka beda..
temukonco
Benar Kak. Padahal walaupun resep dan cara memasaknya benar-benar persis sesuai SOP warung, tapi kalau yang masak tangannya beda, rasanya langsung beda. Kok bisa ya?
Uniek Kaswarganti
Oalaahh.. baru tau ada warung bakso shift-shift an gitu hehehee…. meski satu warung, bisa beda gitu ya citarasanya, tergantung siapa yang pas lagi jaga.
Oke deh, harus mampir kalau lihat si motor merah nongkrong di depan warung ya. :))
temukonco
Mungkin walaupun satu guru satu ilmu, tapi tangan yang meramu beda, keliatannya cita rasanya tetep bakal beda ya.
Firdaus Deni Febriansyah
Agak aneh sih, masa cuma karena sepeda motor merah jadi pertanda bahwa makanannya enak?
Cara terbaik untuk membuktikannya ya memang harus dicicipi makanannya
temukonco
ya begitulah keunikannya Kak… Hanya orang-orang yang kenal dekat dengan pemilik warung yang paham 😀
auqri
Wahhh kalau sudah langganan rasa seperti ini emang gak bisa ditawar lagi deh, kenapa dari tempat makannya tidak mau menghadirkan beliau saja kalau memang itu yang dipilih oleh pelanggan, jadi kan bisa ramai terus tanpa perlu melihat tanda-tanda seperti itu hhe
temukonco
iya juga ya? tapi mungkin dia enggak enak sama adiknya. hahaha…
Nabilla - Bundabiya.com
hahah lucu juga penandanya kaak. saya juga pernah baca di twitter ada yang nulis gitu, ciri2 penjual nasgor enak di jakarta, mulai dari gerobak sampai kumis penjual :)) ada-ada aja penanda yang dibuat orang2 yaa
temukonco
waduh, kalau yang kumis sebagai penanda, baru tau sekarang saya. Lucu juga. Itu gimana ceritanya, Kak?