Saya teringat beberapa bentuk “kekagetan” yang juga pernah dialami oleh beberapa kawan dan relasi kita yang berasal dari Jakarta ketika mereka secara tidak sengaja bersentuhan dengan budaya-budaya lokal pedesaan di Jawa.
Ada dari mereka yang terheran-heran dan tidak percaya ketika anak-anak SD di pedesaan pergi ke sekolah hanya memakai sandal jepit dan bahkan ada yang bertelanjang kaki. Ada juga yang heran ketika melihat sebagian lagi dari anak-anak SD tersebut yang sudah memakai sepatu segera melepas kembali sepatunya dan memilih bertelanjang kaki ketika hari hujan dalam perjalanan pergi atau pulang sekolah.
Kawan-kawan saya yang dari kota tersebut benar-benar tidak habis pikir bagaimana mungkin ada anak sekolah yang tidak mampu membeli sepatu sekolah.
Mereka juga tidak habis pikir ketika jawaban yang diberikan anak-anak yang melepas sepatu sekolah mereka ketika hari hujan tadi adalah,”Wah, eman-eman sepatu ne Mas nek teles, mangke malah rusak tur mboten awet…”
Terjemahannya: “Wah, sayang sepatunya Mas kalo basah, nanti malah rusak dan tidak awet…”
Di lain waktu, ketika melewati jalan Wonosari menuju ke arah Semin – Gunung Kidul, seorang kawan yang lain juga heran melihat belalang yang sudah mati diikat dan direntengi (halah, “direntengi” itu bahasa Indonesianya apa ya?) sedemikian rupa dijual disepanjang jalan, bahkan lebih terkejut lagi ketika saya beritahu bahwa belalang-belalang tersebut bukan untuk konsumsi burung berkicau peliharaan, akan tetapi untuk konsumsi manusia. Dia tidak bisa membayangkan bagian mananya dari belalang itu yang bisa dikonsumsi.
Atau ada juga sekelompok ibu-ibu dari perkotaan yang kebingungan ketika sampai ke suatu lokasi pasar tradisional, ternyata pasar itu sepi dan kosong mlompong. Padahal hari masih sangat pagi.
Rupanya Ibu-ibu dari kota itu belum tahu karena, percaya atau tidak, sampai sekarang di beberapa desa masih umum jika menemui sebuah pasar tradisional yang berpindah-pindah lokasi dari satu tempat ke tempat lainnya setiap hari mengikuti hari pasaran penanggalan Jawa yang terdiri atas: Pon, Wage, Kliwon, Legi, dan Paing itu.
Sebenarnya, masih banyak lagi sih hal-hal seperti itu, tapi mungkin bisa diceritakan di lain waktu.
Catatan: Ini adalah posting blog awal saya ketika pertama kali punya domain sendiri, pada 15 Januari 2007. Diposting ulang dalam rangka Hari Blogger Nasional 27 Oktober 2012
Leave a Reply