Bercermin pada Abu Gunung Kelud. Hari Minggu lalu adalah hari kerja bakti massal, tak hanya di pedukuhan saya, di seluruh Daerah Istimewa Yogyakarta nampaknya hampir seluruh penduduk menyingsingkan lengan baju turun tangan membersihkan lingkungan sekitar masing-masing.
Maklumlah dua hari sebelumnya, Jumat 14 Februari, abu vulkanik ledakan Gunung Kelud menghujani seluruh DIY secara merata. Hingga banyak penduduk yang menghentikan dan menunda aktivitasnya hari itu.
Nampak hampir seluruh warga pedukuhan membersihkan tak hanya atap, rumah, dan halaman mereka yang tersiram abu, tapi juga sampai ke jalan-jalan kampung di sekitar rumah mereka.
Warga mengumpulkan dan membersihkan debu sedemikian rupa, agar jangan sampai masuk ke saluran pembuangan. Sehingga ada yang membuangnya ke karung seperti yang dianjurkan beberapa pihak, ada pula yang mengumpulkan lalu membuangnya ke kebun belakang rumah mereka. Katanya bisa untuk penyubur tanah.
Karena ini bukan kerja bakti rutin, sebab ada kejadian luar biasa alias Force Majeur yang mendorong kegiatan ini, maka kali ini tidak ada kudapan dan teh hangat manis yang disediakan untuk warga yang sedang bekerja.
Bagaimana mau sempat menyediakan minuman atau bahkan membuat kudapan, lha wong para ibu juga sedang sibuk bersih-bersih dapur plus perabot dapur mereka yang juga diliputi debu halus, yang juga merupakan kawan-kawan abu vulkanik itu kok.
Tambahan lagi, dengan abu yang masih banyak berterbangan di luar ruangan seperti itu, eman-eman kudapan dan teh hangat manisnya, karena peluang kemasukkan debu masih sangat tinggi.
Walau demikian, para warga tetap bersemangat membersihkan sekitar lingkungan mereka dari tumpukan abu yang agak mulai mengeras, terutama di jalanan kampung depan rumah masing-masing.
Setelah jalanan dan halaman telah bersih dari abu yang hampir mengerak di jalan dan halaman rumah tersebut, beberapa warga kemudian menuju masjid dekat kampung untuk membantu para pemuda yang sedari pagi membersihkan masjid dan halamannya.
Di masjid, terlihat halaman sudah mulai bersih, lantai dan teras masjid juga sudah sudah selesai dipel tinggal menunggu kering.
Tampak di sebuah sudut teras masjid yang telah kering, beberapa pemuda dan bapak-bapak duduk melepaskan lelah sambil ngobrol seputar fenomena abu vulkanik ini.
“Jarene, abu Kelud ini lebih tebal dari Merapi kemarin, lha itu buktinya ada foto perbandingan foto penampakan prapatan Tugu antara pas jaman abu Merapi dan Kelud. Pas sing Kelud, Tugu-ne meh ndak keliatan, terhalang abu yang berterbangan.” ujar Mas Dalban yang nampaknya telaten metani kanal-kanal media sosial seputar kejadian ini.
“Heisyh! Saru..” tegur Pak RT yang ikut nongkrong di situ, ” tak baik membanding-bandingkan bencana satu dengan bencana lainnya. Walau mungkin menurut kita sebuah bencana itu “relatif ringan”, tapi bagaimanapun bencana tetap bencana. Mereka yang tertimpa selalu merasa tidak nyaman karenanya.”
“Bener kuwi Pak..” Pakde Guno membenarkan. “Mbangane membanding-bandingkan dengan bencana lainnya, luwih becik abu ini nggo ngilo awakke dhewe. Untuk berkaca bagi kita sendiri.” lanjutnya.
“Hayah.. Ngilo kok nganggo awu ki piye je, Dhe?” Mas Sukar bertanya dengan nada ngece.
“Ngilo ya ngilo… Bercermin.. Melihat kembali ke diri kita, setidaknya sebagai sesama warga kampung ini.” jawab Pakdhe Guno.
“Coba liat, nek ra ana awu Kelud seperti ini, apa mungkin semua warga kampung bersama-sama serentak gotong royong? Apa mungkin kita semua seperti sekarang ini melu rame-rame ngresiki masjid? Biasane rak dipasrahkan ke takmir-nya aja to? Tur ra ana konsumsinya. Apa kalau hari-hari biasa, banyak yang mau seperti ini? Ha mbel…” ujarnya sinis.
“Lha terus, bagian ngilo ke abu Kelud-nya itu di sebelah mana e, Dhe?” tanya Pak RT sambil menahan senyum.
“Ha wis cetha to? Wis cetha to?” Pakdhe Guno melontarkan pertanyaan setengah retoris-setengah ngeyel sambil mendelik-mendelik.
“Abu ini buat berkaca kita semua, apa bener kita baru mau serempak tolong menolong, guyub rukun kerja bakti, bahkan tanpa tersedianya konsumsi, setelah ada bencana seperti ini?” jelas Pakdhe Guno.
“Jaman sekarang ini, nek ra ketanggor bencana atau halangan kok kita keliatannya melupakan dan menanggalkan kemanusiaan kita sing jarene makhluk sosial.” jelas Pakdhe yang karena masa lalunya dapet paraban “gregah”, jadi di kampung dikenal dengan Guno Gregah.
“Kuwi sing tak maksud bercermin pada abu Kelud.” lanjut beliau, “Ngilo, berkaca, melihat diri sendiri, biar kita-kita semua bisa kembali sadar, nek dhewe ki menungso, manusia, makhluk sosial, kudu guyub karo kanca-kancane. Bukannya njuk individual, ndak kenal tetangga kiri kanannya.”
“Ini aku bukan mau sok suci, sok bener, atau mau menggurui.” sambung Pakdhe Guno seolah bisa membaca pikiran orang-orang yang mendengarkannya.
“Tapi, piye nek misal e ini jawilan dari Tuhan biar kita ingat kemanusiaan kita lagi?”
“Piye misal e, seperti biasanya, setelah berlalu beberapa bulan, kita kembali lupa, terus dijawil lagi?”
“Gimana misalnya, setelah dijawil kesekian kalinya, kita tetap tak mau bercermin dan kembali melupakan kemanusiaan kita?”
Pakdhe Guno terus melanjutkan dengan suara yang makin berat, “Gimana kalau ternyata ini adalah jawilan TERAKHIR yang diberikan pada kita, dan kita tidak pernah menyadarinya?”
Entah kebetulan entah tidak, sesaat setelah Pakdhe Guno menyelesaikan kalimatnya, mendadak angin berhembus agak kencang, lalu abu-abu yang menempel pada dedaunan di pohon-pohon sekitar masjid kembali berjatuhan.
1 Pingback