Mungkin seperti saya, banyak yang mulai merasa risih ketika melihat media konvensional dan media massa akhir-akhir ini. Bukan karena lalu lalang kampanye capres di kanal-kanal informasi tersebut kian meningkat frekuensinya, namun karena makin berseraknya kabar-kabar bohong yang kian menjurus fitnah di sana-sini.
Parahnya lagi, ada beberapa pihak yang meluncurkan kebohongan tersebut menganggap itu adalah “bohong putih” dengan dalih itu dilakukan demi kemajuan dan kesuksesan kelompok mereka sendiri. Tentu saja hal tersebut disampaikan setelah bohong putih mereka terbongkar oleh masyarakat luas.
Karenanya, muncul pro dan kontra berkaitan istilah “bohong putih” itu sendiri . Mereka yang membenarkannya, beralasan bohong putih boleh saja selama tujuannya untuk kebaikan.
Sementara para penentangnya berpendapat bagaimanapun, namanya bohong itu berdosa, tanpa perduli diberi tambahan keterangan putih, hitam, merah, obar-abir, ungu terong, atau bahkan ijo pupus gedang sekalipun.
Sebagai manusia biasa, saya dulu juga pernah melakukan bohong putih ini. Bukan sesuatu yang pantas dibanggakan sih, tapi saya ingin menggambarkan betapa tidak enaknya perasaan saya setelah melakukan kebohongan putih itu.
Ceritanya gini, seingat saya pada tahun 1994 duo penyanyi Australia yang saat itu sangat kondang, Air Supply, untuk pertama kalinya melakukan konser di Jakarta.
Nyaris seluruh masyarakat Indonesia menyambut kejadian ini dengan antusias, sampai-sampai juga menjadi berita di koran-koran lokal luar Jakarta. Inilah asal mula perkara.
Karena Yogyakarta adalah daerah yang memiliki tingkat minat baca besar (dulu sih, sebelum ada smartphone dan tablet), maka nyaris semua lapisan masyarakat membaca koran lokal andalan dan kebanggaan warga Yogyakarta di masa itu. Termasuk di dalamnya ibu-ibu tetangga rumah yang waktu itu saya tempati sebagai kos-kosan.
Siangnya, saat saya hendak makan di warung milik salah satu ibu-ibu tersebut yang bersebelahan dengan kos saya, di situ para ibu nampak sedang berkerumun membaca dan mengomentari berita tentang kedatangan Air Supply tadi.
Saat melihat saya, seorang ibu dengan pede-nya bertanya pada saya,”Wah Mas, keliatannya Jakarta juga kena dampak kemarau panjang ini ya? Lha ini sampai minta bantuan Australia.”
Saya yang belum paham arah pembicaraan balik bertanya,”Oh ya to Bu? Dapat kabar dari mana e?”
“Lha ini,” jawab beliau sambil menunjukkan judul berita di surat kabar yang dipegangnya, lalu membaca, “Ratusan Orang Antusias Sambut Air Supply.”
Saya hampir tersedak mendengarnya, tapi untung wajah tetap terjaga ketenangannya.
“Untung ya Mas, suplai air sudah sampai ke Jakarta, jadi mereka ndak begitu kesusahan lagi sampai nanti musim hujan datang.”, lanjutnya dengan sungguh-sungguh.
Pada kondisi seperti ini waktu itu saya sempat dilemma, dihadapkan pada pilihan apakah saya harus jujur dan langsung menjelaskan bahwa yang dimaksud Air Supply itu adalah duo penyanyi dan kalau di-Indonesia-kan arti Air Supply itu bukan Suplai Air, yang artinya saya seolah mengatakan bahwa ibu itu salah dan bahasa Inggris-nya parah, di depan sekelompok ibu-ibu tetangga yang tiap hari selalu bertemu dan berinteraksi dengannya.
Atau, saya berbohong dengan mengiyakan saja pendapat ibu tersebut, toh semua ibu-ibu di kumpulan tersebut tidak ada yang tahu apa itu sebenarnya Air Suppy.
Walhasil, saya memilih untuk berbohong dengan tujuan agar ibu itu tidak tampak bodoh di depan kawan-kawannya. Bohong putih.
Tapi benarkah masalah selesai begitu saja? Mungkin bagi ibu itu dan kawan-kawannya iya. Tapi buat saya, bahkan hingga sekarang, saya masih merasa bersalah dan bingung bagaimana caranya bilang ke ibu itu bahwa sekitar dua puluh tahun lalu saya berbohong tentang Air Supply.
***
Kawan saya punya pengalaman lain lagi, dan menurut saya dia merasa lebih tidak enak ketimbang saya gara-gara bohong putih.
Kejadiannya saat kawan saya itu Kuliah Kerja Nyata (KKN) pada hari pertama di sebuah desa dekat daerah Dieng, Wonosobo.
Mungkin karena lelah seharian mengikuti kegiatan pelepasan KKN dari kampus hingga menuju desa KKN, selepas Isya kawan saya itu langsung tertidur dengan pulasnya.
Permasalahan muncul saat dini hari menjelang subuh. Kawan saya itu terbangun karena ternyata ia mengalami mimpi basah.
Sebagai pemeluk agama Islam, apabila mengalami mimpi basah (atau melakukan hal-hal yang menyebabkan “basah” if you know what I mean 😀 ) wajib segera mandi junub agar dapat kembali melaksanakan ibadah seperti misalnya shalat.
Kawan saya juga mengalami dilemma, kalau misalnya dia mandi junub di pagi sekitar jam setengah empat itu, dia malu dan khawatir Keluarga Pak Lurah tahu kalau dia mimpi basah, dan sangat tidak enak rasanya di hari pertama menginap kok langsung mimpi basah.
Tapi di sisi lain, jika dia tidak mandi junub maka dia tidak bisa shalat Shubuh, padahal selain itu kewajiban, juga tidak enak dilihat oleh orang-orang Desa, mosok mahasiswa-mahasiswa dari kota yang katanya intelektual muda, kok tidak memberi suri tauladan baik.
Akhirnya pilihan kawan saya jatuh pada mandi junub di jam 4 pagi itu, agar bisa tetap beribadah.
Karena masih pagi, sepelan-pelan apapun menggebyur tubuh, tetap saja suaranya terdengar hampir ke seluruh rumah. Ini membangunkan Pak Lurah dan Ibu Lurah yang kemudian saat melihat kawan saya selesai mandi, Ibu Lurah bertanya pada kawan saya, “Kok tumben di pagi buta ini sudah mandi, dingin lho Mas?”
Kawan saya jelas tidak mungkin jujur dan menjawab, “Anu Bu.. Ini.. Tadi malem saya gemrojog mimpi basah e..”
Sehingga, kawan saya akhirnya berbohong putih dengan menjawab,”Oh saya biasa mandi jam segini kalo di Jogja kok Bu..”
Tapi selesaikah sudah permasalahannya sampai di sini? Oh ho ho.. tentu saja belum..
Demi menutupi satu kebohongan putihnya tadi, kawan saya mau tidak mau setiap pagi buta sebelum subuh selalu mandi selama tinggal di rumah Pak Lurah itu selama masa KKN yang berlangsung selama 2 bulan.
Padahal bagi kawan saya itu, hal ini bukan hal yang mudah. Jangankan mandi pada jam segitu, lha wong pas di Jogja tidak jarang kawan saya itu bahkan sampai tega untuk tidak mandi saat ada kuliah pagi, apalagi saat musim mbediding, saat suhu udara malam sampai pagi sedang dingin-dinginnya.
Jadi, silahkan bayangkan siksaan seperti apa yang dihadapi kawan saya, saat mandi setiap pagi buta dalam udara dingin khas Dieng di musim kemarau yang tak hanya menusuk tulang, namun sampai membekukan minyak goreng, sehingga saat itu para penjual minyak goreng tak mengemas dagangannya di botol atau jeriken, melainkan di atas tampah lalu dijual dalam bentuk potongan-potongan layaknya penjual dodol.
Bagaimana, punya pengalaman seru akibat bohong putih?
Catatan tambahan: Akhirnya waktu dinas di Aceh, saya mendapatkan trik unik dari bapak-bapak setempat, yang mampu meredam suara gebyuran air saat mandi junub di pagi buta, sehingga seisi rumah lainnya (terutama mertua) tidak dengar dan terbangun. 😀
Agus Supriadi
Malah penasaran dengan trik yg terakhir je 😛
temukonco
kalo itu via japri aja Mas… Biar lebih jelas 😀
Wahyu Asyari Muntoha
adus ning kali, ora ono sing ngerti. hueheheh
temukonco
pagi buta tur adem tenan e Mas… Nek neng kali pasti luwih adem.. Ha mbok tenin.. 🙂
irfan hanafi
mbok diajari yang catatan tambahan mas.. penasaran je.. 😀
temukonco
via japri aja Mas.. Ra penak karo mereka yang belum cukup umur e 😀
sandlaian
Penasaran juga dengan triknya :))
Mbok triknya ditulis di pastebin ben kesannya anonim Mas.
temukonco
wahihihi… kesannya anonim.. apik iki solusine Mas.. 😀
dwijonarko
apa triknya semacam digrujug sedikit sedikit?
temukonco
Bukan e Mas.. Tapi seperti itu juga bisa sih.. 🙂
Gogon (@go2n)
Mas… nyuwun trik-e mas… 😀
temukonco
Saya bingung carane ngandani e… Masalah e ra iso nganggo tulisan, ndadak praktek.. 😀