Hari Hiu Paus Sedunia atau International Whale Shark Day ternyata diperingati setiap 30 Agustus. Saya terlambat beberapa hari mengetahui adanya peringatan ini.
Peringatan Hari Hiu Paus Sedunia pertama kali dideklarasikan tahun 2012 di the Second International Whale Shark Conference, National Commission of Natural Protected Area (CONANP) di Mexico.
Sejak saat itulah hingga saat ini International Whale Shark Day / Hari Hiu Paus Sedunia diperingati terutama oleh kalangan yang peduli dan erat berhubungan dengan kelestarian laut beserta isinya. Sayangnya, di kalangan awam terutama di Indonesia peringatan tahunan ini kurang dikenal.
Padahal kalau bicara tentang Hiu Paus / Whale Shark (Rhincodon typus), sesungguhnya Indonesia punya keistimewaan tersendiri ketimbang negara-negara lain yang memberikan perhatian besar pada ikan terbesar di dunia ini.
Istimewanya karena berbeda dengan negara-negara lain, ikan hiu paus relatif lebih “kerasan” berada di perairan Indonesia, sehingga tiap hari sepanjang tahun, ikan hiu paus ini relatif lebih sering berkeliaran di Indonesia, terutama perairan di wilayah Kwatisore, distrik Yaur, Kabupaten Nabire, Papua. Di daerah ini, ikan hiu paus sering terlihat berkeliaran di sekitar bagan-bagan pencari ikan lepas puri/ikan teri (Engraulidae) nyaris tiap hari.
Ikan yang oleh sebagian nelayan di Pulau Jawa dijuluki Gêgêr Lintang ini, gemar berkeliaran di sekitar bagan karena di bawah dan di sekitar bagan. Alasannya karena selain banyak plankton yang menjadi menu makan utama mereka, juga karena mereka mencari sisa-sisa ikan teri yang jatuh atau tersisa di jaring, setelah para penjaga bagan mengambil sebagian besar ikan teri yang tertangkap.
Iya, meskipun badannya besar, tapi makanan utama ikan ini adalah plankton dan ikan-ikan kecil lainnya. Seperti ikan teri itu salah satu contohnya, itupun nampaknya mereka tidak bisa menelannya bulat-bulat karena masih dirasa terlalu besar. Jadi yang dicari ikan ini di perairan seputar bagan adalah serpihan-serpihan ikan teri yang sudah hancur karena telah mati dan lama terendam air laut.
Saking seringnya berkeliaran di sekitar bagan, para penunggu bagan seringkali melakukan kegiatan “memanggil” ikan hiu paus ke bagan mereka sebagai semacam bentuk “atraksi wisata” bagi siapa saja yang mampir kebagan mereka untuk melihat secara langsung ikan hiu paus ini.
Memang tidak mesti selalu datang kalau ikan hiu paus ini “dipanggil”, tapi kemungkinan itu relatif kecil. Bahkan, jika beruntung pengunjung bisa melihat 4 – 5 ikan hiu paus berenang-renang dan mencari makan di seputar bagan.
Hal seperti itu jarang ditemukan di negara-negara lain. Sebab biasanya di negara-negara tersebut, ikan hiu paus hanya terlihat di bulan-bulan tertentu saja, saat suhu air laut hangat sehingga plankton-plankton banyak tersebar di tempat itu. Kalau di Indonesia, sepanjang tahun airnya hangat selalu, walaupun musim penghujan. Maklum negara tropis.
Anugerah alam yang istimewa ini selain menawarkan keindahan ternyata juga memiliki potensi bahaya yang mengancam. Bahayanya datang dari para pemburu sirip ikan hiu yang kebanyakan berasal dari luar negeri.
Seperti diketahui, sirip ikan hiu adalah salah satu bahan baku makanan yang tinggi nilai ekonomisnya, meskipun dari sisi rasa relatif hambar. Tingginya nilai ekonomis ditambah banyaknya larangan perburuan sirip ikan hiu di berbagai negara, membuat para pemburu gelap sirip ikan hiu ini memperluas pencariannya hingga ke Indonesia, termasuk ke Kwatisore.
Jika mereka benar-benar sampai dan berburu di Kwatisore, tentu saja ini bisa menjadi ajang penjagalan ikan hiu paus besar-besaran. Karena alih-alih berburu ikan hiu seperti di wilayah peraian lain, di lokasi ini yang mereka lakukan lebih seperti datang ke kandang atau kebun ikan hiu paus, yang masing-masing bisa dipanggil untuk langsung dibantai satu persatu.
Kekhawatiran tersebut makin menguat ketika mendengar cerita dari salah seorang pekerja bagan yang mengatakan bahwa akhir-akhir ini makin banyak kapal-kapal dari luar negeri, yang kebanyakan berbendera Taiwan, hilir mudik di kawasan tersebut.
Saking khawatirnya dengan kondisi tersebut, keadaan ini saya tuliskan di buku Soekamti Goes to Papua dan sebuah buku tersebut saya kirimkan ke Menteri Kelautan dan Perikanan, Ibu Susi Pudjiastuti. Saya sertakan pula sedikit catatan tentang apa yang saya dapatkan dari informasi penjaga bagan itu. Semoga sampai ke beliau ya. 😀
Leave a Reply