Bagaimana sebenarnya orang-orang sekarang memandang dan berinteraksi dengan radio? Benarkah mulai tergeser dengan hadirnya layanan music digital streaming? Mungkin kasus SALAM INDONESIA ini menarik diamati.
Sebelum ngomong tentang Hari Radio Nasional yang diperingati hari ini, 11 September 2017, kita mundur dikit ke beberapa minggu lalu. Lebih dari sebulan yang lalu malah.
Beberapa minggu sebelum bulan Agustus 2017, Endank Soekamti berencana meluncurkan single pertama mereka dari album terbaru “SALAM INDONESIA”, yang baru saja selesai direkam di atas kapal pinisi di perairan Papua, bulan puasa kemarin.
Rencana awal, single tersebut akan diluncurkan di awal Agustus 2017 ke gerai-gerai digital dan ke radio-radio siaran nasional baik itu yang milik negara, swasta, maupun komunitas.
Kurang dari dua minggu sebelum Agustus 2017 rencana itu berubah. Single pertama album ke-8 Endank Soekamti ini akan dirilis HANYA di radio-radio siaran nasional saja sejak 1 Agustus 2017.
Kemudian untuk perilisan di gerai-gerai digital baru akan dilakukan pada 17 Agustus 2017, yang bertepatan dengan hari peringatan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Republik Gabon.
Untuk jaman sekarang yang serba digital, keputusan meluncurkan album hanya di radio-radio seperti ini bisa dianggap aneh (kalau tidak mau dibilang bodoh).
Lha wong biasanya para musisi dan artis kalau melucurkan single atau album pasti ke media-media digital dan media konvensional (radio dan televisi), supaya jangkauan lebih luas dan sehingga lebih banyak orang yang mengetahui adanya single baru itu. Ha ini kok Endank Soekamti malah memilih hanya merilis ke media konvensional, itupun hanya melalui radio.
Saking nganeh-anehi-nya, sampai-sampai beberapa mitra dari gerai digital menghubungi demi memastikan apakah benar keputusan sangat tidak umum dan aneh ini akan dilakukan?
Pihak Endank Soekamti sendiri sangat menyadari konsekuensi keputusan yang diambil ini. Jangkauan yang jadi kurang maksimal, kehilangan peluang mendapatkan income per click dari gerai digital (bahkan video klip juga belum diunggah ke YouTube sebelum 17 Agustus), serta belum pasti para music director radio-radio yang dikirimi materi single tersebut akan memasukkan ke playlist radio mereka.
Kalaupun dimasukkan ke playlist radio, belum tentu para penyiar akan memutarkannya. Belum lagi kalau single tersebut bocor ke tangan-tangan durjana lalu kemudian disebarkan sendiri dan dimonetisasi lewat YouTube untuk mereka?
Namun dengan risiko-risiko yang jelas di depan mata itu, Endank Soekamti tetap pada keputusan awalnya. Merilis single SALAM INDONESIA secara eksklusif hanya di radio-radio selama periode 1 – 16 Agustus 2017. Kemudian baru dirilis secara digital pada 17 Agustus 2017.
Alasannya sederhana. Endank Soekamti sangat sadar kalau radio-lah yang mengenalkan mereka ke para pendengar belasan tahun lalu, dan turut membesarkan hingga jadi seperti sekarang ini.
Dengan merilis single terbaru itu hanya di radio, Endank Soekamti ingin mengajak para Kamtis turut merayakan single SALAM INDONESIA, sekaligus mengajak mereka kembali mendengarkan siaran radio.
Karena konon kabarnya pendengar radio saat ini relatif makin berkurang jika dibandingkan sepuluh tahun lalu misalnya. Orang-orang sekarang, terutama yang muda, lebih banyak memilih mendengarkan musik lewat jasa layanan streaming atau digital music player dari gadget mereka.
Ketika single SALAM INDONESIA itu diluncurkan khusus hanya di radio-radio, respon-respon yang muncul cukup unik.
Ada yang tanya “Bagaimana caranya biar bisa mendengarkan SALAM INDONESIA dari radio?”, iya benar ada yang pertanyaannya se-mendasar itu.
“Mas, cara request ke radio biar diputerin lagu SALAM INDONESIA, gimana ya?”, nah ini agak lebih tidak mendasar dari pertanyaan sebelumnya. Setidaknya mereka mengerti ada metode namanya “request lagu” ke radio. Hanya saja caranya request gimana mereka belum tahu.
Ada juga yang tanya “Lagu SALAM INDONESIA biasa diputar jam berapa dan di radio mana?”. Jadi dalam kasus ini, ada yang menyangka kalau si artist, dalam hal ini Endank Soekamti, bakal tahu jadwal waktu dan mana radio yang akan memutar singlenya.
Terus terang saya geli bercampur kaget menerima banyaknya pertanyaan-pertanyaan senada seperti itu.
Geli karena sebenarnya jawaban pertanyaan-pertanyaan itu sederhana dan kalau memang sering mendengarkan radio, pasti tak akan meluncurkan pertanyaan-pertanyaan seperti itu.
Di sisi lain juga kaget karena apa benar, “jarak” antara radio dengan orang-orang yang berpotensi jadi pendengarnya sedemikian jauhnya?
Apa benar anak sekarang enggak tahu cara request lagu ke radio?
Apa benar orang-orang sekarang sudah tak punya radio idola, sehingga sampai-sampai mereka tidak lagi memiliki, apalagi mengingat, acara-acara kesayangan di radio tersebut?
Apakah benar orang-orang sekarang lebih suka mendengar playlist dari layanan streaming online mereka yang berisi pilihan musik yang lebih bebas tanpa perduli genre dan tak terpatok pada SES pendengar?
Apakah orang-orang sekarang tidak merindukan keintiman hubungan antara penyiar dan pendenger, tak bisa menikmati manisnya saling sapa lewat udara, dan menutup peluang mendapat “kejutan” karena lagu kesukaannya tahu-tahu diputarkan di radio tanpa harus request atau memasukkannya ke dalam playlist lebih dahulu?
Apakah radio masih bisa menawarkan kembali kehangatan hubungan pendengar dan penyiar di masa lalu di masa kini yang semua terasa makin cepat dan terburu-buru?
Oh iya, kalau belum pernah dengar lagu SALAM INDONESIA dengan berbagai alasan, baik karena enggak bisa request ke radio, request tapi enggak diputerin penyiaranya, atau mau dengerin lewat layanan streaming tapi malas menggunakan fungsi search, monggo. Ini dia. Selamat Hari Radio Nasional, Sekali di Udara Tetap di Udara, dan SALAM INDONESIA!
Leave a Reply