Jeremy: Hmm. It’s like these pies and cakes. At the end of every night, the cheesecake and the apple pie are always completely gone. The peach cobbler and the chocolate mousse cake are nearly finished… but there’s always a whole blueberry pie left untouched.
Elizabeth: So what’s wrong with the blueberry pie?
Jeremy: There’s nothing wrong with the blueberry pie. Just… people make other choices. You can’t blame the blueberry pie, just… no one wants it.
(My Blueberry Nights – 2007)
OK, lupakan tentang cara unik dan menyenangkan Jeremy (Jude Law) membersihkan sisa es krim yang tertinggal di bibir Elizabeth (Norah Jones) di film My Blueberry Nights (2007), kita mundur beberapa saat sebelum adegan itu. Tepatnya saat adegan yang percakapannya dikutip tadi ini.
Oh iya, sampai lupa, film arahan Wong Kar-Wai aka. Kar-Wai Wong ini bercerita tentang seorang perempuan muda yang ditinggal kekasihnya. Ia berusaha menghilangkan rasa sakit hatinya dengan berbagai cara, mulai dari sekedar bercakap-cakap di sebuah kafe dengan seorang pria muda Inggris yang juga pemilik sebuah kafe kecil. Hingga pergi jauh menjelajahi Amerika dan bertemu dengan jiwa-jiwa yang juga diliputi kekecewaan dalam beragam versi.
Nah, Kembali ke adegan percakapan tadi. Ketika Elizabeth masih nongkrong hingga larut di kafe milik Jeremy, si pemilik kafe ini menceritakan bahwa blueberry pie adalah satu-satunya hidangan yang tak tersentuh oleh para pengunjung dari mulai kafe buka hingga tutup.
Menurut Jeremy, itu bukan karena ada yang salah pada blueberry pie-nya, tapi memang tidak ada pengunjung yang menginginkan blueberry pie, sesederhana itu alasaannya. Untuk itu tidak ada yang bisa disalahkan, baik blueberry pie maupun para pengunjung kafe.
Kisah Pare, Terong, dan Tauge
Awalnya ketika mendengar percakapan tersebut di film, sempat terlintas sekilas di pikiran, “Ha nek ra payu rasah nggawe kuwi meneh, Mas!”
Namun setelah lama-lama direnungkan, rasanya percakapan itu seolah menyindir saya yang sering menyalahkan makanan atau minuman hanya karena saya tidak menyukainya.
Misalnya dulu waktu kecil (tak perlu menyebut angka tahun, yang jelas sudah lama sekali), saya sangat benci pada oseng-oseng pare yang pahit. Demikian pula dengan olahan terong dalam wujud apapun, yang jika ditelan terasa klenyer-klenyer di tenggorokan.
Tak hanya itu, saya juga dulu selalu menyingkirkan tauge ke pinggir piring. Menurut saya saat itu bentuk tauge yang mirip jentik-jentik nyamuk raksasa albino berkepala hijau itu, sangat tidak masuk akal untuk menjadi sebuah bahan makanan.
Ketidaksukaan saya terhadap makanan-makanan tersebut tanpa sadar menjadi alasan saya untuk menyalahkan oseng pare, jangan terong, dan tauge itu. Murni hanya karena rasanya atau penampilannya. Iya, sesederhana itu.
Sekilas kedengarannya tidak ada yang salah dari pendapat itu. Karena jika kita tidak suka rasa atau bentuk suatu makanan maka wajar jika menyalahkan makanan tersebut. Kemudian menyingkirkan dan membuangnya.
Namun setelah mendapat pencerahan dari potongan percakapan film yang konon memberi inspirasi banyak orang untuk bikin kafe kecil sederhana tapi artsy ini, saya jadi sadar. Keliatannya ada yang enggak bener deh.
Karena setelah dipikir-pikir, tidak perduli saya suka atau tidak, sayur terong akan tetap terasa klenyer-klenyer di tenggorokan, oseng pare rasanya tetap pait, dan tauge –selama tidak diapa-apakan- bentuknya tetap seperti jentik-jentik raksasa. Karena semua “dari sananya” udah seperti itu.
Dengan kenyataan dan dasar seperti itu, dari mana asal muasalnya saya –yang tidak membuat, membikin, atau mengolahnya– merasa sok punya hak menganggap dan menilai pare, terong, dan tauge itu bersalah?
Belum lagi kalau kebencian saya itu dihadapkan pada sudut pandang para pecinta pare, para maniak terong, dan para pembela tauge. Yang oleh mereka sangat bisa makanan tersebut sudah dianggap hampir selevel dewa atau minimal superhero kuliner mereka.
Ternyata tanpa sadar saya menjadi seseorang yang “rasis” terhadap makanan. Membenci pahitnya pare tanpa memperhatikan manfaat sebagai –kata beberapa orang– pencegah darah tinggi.
Tidak suka klenyer-klenyer terong tanpa memandang bahwa sesungguhnya terong bermanfaat bagi kesehatan vitalitas pria.
Serta tauge yang dibalik bentuknya yang seperti uget-uget raksasa, sesungguhnya memiliki manfaat meningkatkan kesuburan lelaki.
Rasanya itu sama konyolnya dengan membenci orang lain hanya karena memiliki beda warna kulit, suku, agama, atau ras tertentu. Tanpa melihat ada hal lain yang lebih esensial untuk bisa diapresiasi dan dihargai di luar hal-hal tersebut.
Singkatnya, boleh saja tidak menyukai atau tidak bisa menikmati suatu makanan apapun alasannya. Namun itu bukan alasan kuat untuk membencinya. Kan makanan (atau minuman) tersebut tidak punya salah dengan kita.
Lagi pula, kan masih banyak makanan yang sesuai selera dan dianggap lebih nikmat (walaupun kadang justru makanan ini yang jahat sama kita). Jadi ngapain buang-buang energi membenci makanan yang sebenarnya ndak punya salah apa-apa?
Akhir kata, mari kita akhiri pembicaraan ini dan mari kita lanjutkan adegan My Blueberry Nights karya Wong Kar-wai, yang sempat tadi ter-pause, untuk melanjutkan menikmati dan mungkin mempelajari metode pembersihan sisa es krim yang aduhai itu.. 🙂
Catatan: Tulisan ini pernah dimuat di situs KenyangBego beberapa waktu lalu dengan beberapa perubahan.
indie
Masak trasi di apartemen (kondominium) juga nggak boleh, Mas… :p Pihak manajemen takut aromanya kemana-mana.. :p
temukonco
Berarti, selain trasi maka ikan asin, kepiting, rajungan, jengkol, dan sejenisnya juga ndak boleh dong? Wah cari bahan makanan yang nir-aroma ki angel e.. Mosok ya ngemil arem-arem terus tiap hari? Hehehe..