Begitu perhatiannya masyarakat Jawa pada keluarga dan ikatan kekerabatan, tiap tingkat keturunan diberi nama sampai tingkat kedelapan-belas.
Pemandangan yang sering terlihat saat silaturahmi dengan sanak saudara, keluarga besar, dan mungkin sesama trah, adalah para orangtua memberikan penjelasan pada anak-anak mereka tentang hubungan keluarga antara anak-anak mereka tersebut dengan mungkin sesosok pria mungil yang baru kali ini ditemui, namun anak-anak itu harus memanggilnya Pakdhe.
Biasanya orangtua anak-anak tersebut akan menjelaskan bagaimana asal muasalnya sehingga pria mungil asing tersebut menjadi Pakdhe mereka.
“Jadi Le, Ndhuk…” sang orangtua memulai menjelaskan pada anak-anak mereka, “Ibunya ibu kalian atau eyang putri kalian itu, kan punya kakak perempuan, nah kakak perempuan eyang putri kalian itu menikah dengan pamannya Pakdhe kalian ini. Oleh karena itu, biarpun mungil, orang ini pernah-nya adalah Pakdhe kalian. Ayo sungkem sana…”
Kemudian, walaupun anak-anak tersebut dengan ikhlas dan takzim menghaturkan sungkem pada Pakdhe mungil mereka, namun saat diminta untuk menjelaskan lagi bagaimana hubungan keluarga antara mereka dengan si Pakdhe mungil, biasanya mereka tak bisa menjawab karena kalau tidak lupa, ya bingung.
Walaupun kasus dan percakapannya tidak sama persis, tapi setidaknya cukup akrab kan dengan situasi tadi?
Memang agak berbeda dengan beberapa budaya lain yang berpandangan bahwa yang dimaksud keluarga atau family hanyalah yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak di dalam satu rumah. Anak-anak pun, saat beranjak dewasa akan meninggalkan rumahnya untuk membentuk keluarganya sendiri di tempat lain.
Sementara di Jawa, termasuk Yogyakarta, selama masih ada hubungan darah dan/atau pernikahan baik dari garis keturunan ayah maupun ibu, masih tetap dianggap saudara dan anggota keluarga yang lebih tua memiliki kewajiban untuk mernahke atau memberikan penjelasan bagaimana hubungan keluarga antara anak-anak mereka dengan anggota keluarga yang lain.
Mungkin itu juga sebabnya, dalam bahasa Inggris sebutan untuk masing-masing kedudukan dalam kekerabatan relatif lebih sederhana dan mungkin bisa dibilang generik.
Misalnya tidak ada kata spesifik untuk “kakak” atau “adik”, dan untuk itu harus dijelaskan dengan kata tambahan “big brother” atau “little sister”. Belum lagi untuk penyebutan saudara ayah atau ibu kita, tidak dikenal istilah yang setara dengan “Pakdhe”, “Budhe”, “Paklik”, atau “Bulik”, semuanya cukup diwakili dengan “Uncle” dan “Auntie”.
Begitu perhatiannya masyarakat Jawa terhadap keluarga dan ikatan kekerabatannya, setiap tingkat keturunan baik naik (yang lebih tua), maupun yang turun (yang lebih muda), diberi nama sampai tingkat keturunan kedelapan-belas.
Untuk delapan belas urutan keturunan ke atas adalah: anak/putra — bapak/ibu — embah/eyang — mbah buyut — mbah canggah — mbah wareng — mbah udheg-udheg — mbah gantung siwur — mbah gropak senthe — mbah debog bosok — mbah galih asem — mbah gropak waton — mbah cendheng — mbah giyeng — mbah cumpleng — mbah ampleng — mbah menyaman — mbah menya-menya — mbah trah tumerah.
Sementara untuk delapan belas keturunan ke bawah adalah: anak/putra — putu/wayah — buyut — canggah — wareng — udheg-udheg — gantung siwur — gropak senthe — debog bosok — galih asem — gropak waton — cendheng — giyeng — cumpleng — ampleng — menyaman — menya-menya — trah tumerah.
Luar biasa bukan? Tertarik mencari jejak ke masa lalu untuk mengetahui siapakah eyang trah tumerah kalian?
Originally published at www.trulyjogja.com on February 13, 2015.
Leave a Reply