Ngono ya ngono ning aja ngono. Sebuah obrolan di angkringan Lik Ngadiyo dengan seorang pemuda yang memahami apa yang dilakukan Via Vallen itu keliru, tapi tetap tidak pada tempatnya ada orang yang menuduhnya seorang “perempuan tidak baik-baik” hanya karena tindakannya itu.
Senja, dengan semangat layaknya anak-anak indie kekinian, maka saya menyempatkan diri mampir ke angkringan Lik Ngadiyo.
Hanya saja, kalau anak-anak indie menikmati senja bersama kopi (yang biasanya bukan sachet-an), saya lebih memilih bersama teh hangat yang tidak terlalu manis di sini.
Namun alasan sebenarnya saya mampir ke angkringan ini adalah ingin bertemu dengan si B, pemuda tanggung pemuja Via Vallen itu, yang entah mengapa kalau melihat wajahnya kita seolah ingin menapuknya.
Keramaian di media sosial yang menyangkut Via Vallen dan seorang pria anggota sebuah band beberapa waktu lalu terus terang membuat saya ingin melihat bagaimana reaksinya dan tentu saja bentuk wajahnya yang pasti makin menggemaskan.
Sayangnya, ndilalah yang ada di angkringan malah si Ingah-ingih aka. Si A, yang nongkrong di sini.
“Heh, kancamu endhi e? Kok sendirian?” tanya saya.
“Klumbrak-klumbruk di rumahnya Mas. Emosi campur sedih, idolanya dibilang ‘perempuan tidak baik-baik’ sama orang itu.” ujarnya sambil memonyongkan mulutnya ke arah samping seolah orang yang dimaksud duduk dekatnya situ.
“Dari pada klumbrak-klumbruk kayak cucian, mending dia tadi diajak ke sini. Biar bisa sama-sama kita obong-obong dia.” sambar Lik Ngadiyo. Nampaknya dia mencoba meningkatkan jumlah pembeli di angkringannya.
“Sudah tak ajak ke sini Lik, tapi dia wegah e.” jawab si Ingah-ingih di sela-sela keasyikannya mengothot-othot kepala ayam bakar.
“Untung bukan Nella Kharisma ya yang dibilangin gitu sama orang itu?” saya sok mencoba ada di pihaknya.
“Walaupun saya NellaLovers, tapi ya tetep ikut ndak terima lah Mas, ada perempuan baik-baik dituduh dengan kata-kata yang ndak sepantasnya kayak gitu seenaknya.”
“Tapi kan Via Vallen memang keliru to? Nyanyi lagunya orang itu ndak waton lho. Ada hukumnya itu.” Lik Ngadiyo nampaknya mengalihkan kegiatan obong-obong-nya ke si Ingah-ingih ini.
Tak ada si Temapuk aka. si B aka. si Vyanisty, maka si Ingah-ingih pun jadi. Mungkin itu yang ada di benak Lik Ngadiyo.
“Ya memang salah, keliru. Tapi mbok ya o reaksinya jangan gitu. Kan bisa langsung ngundang pengacara, pakai jalur hukum .” emosi si Ingah-ingih nampaknya mulai naik. Terlihat dari caranya mengothot-othot kepala ayam yang jadi agak sedikit brutal.
“Atau kalau sudah mangkel tenan ya ndak papa ditegur lewat media sosial, tapi ya ndak terus ngunekke Via Vallen seperti perempuan nakal gitu. Ngono ya ngono ning aja ngono. Mesakke!” si Ingah-ingih langsung nyesep kepala ayam di tangan kanannya sampai bersuara.
“Tapi kan memang kenyataannya Via Vallen bukan seperti yang dituduhkan orang itu tadi, jadi rak ndak masalah to?” eyel Lik Ngadiyo memancing.
“Orang apik tetep apik biarpun dijelek-jelekkan orang.” lanjutnya sambil mendekatkan potongan-potongan kepala dan ceker ayam ke si Ingah-ingih.
Oh, nampaknya Lik Ngadiyo menjalankan metode subconscious marketing di angkringannya ini. Saya sadar.
Lik Ngadiyo ngobong-obong pembelinya hingga emosi, akibatnya kalap. Makannya banyak.
Dengan demikian akan meningkatkan penjualan. Otomatis ini berarti laba. Apalagi di angkringan makanan-makanan tertata sedemikian rupa sehingga sangat mudah diraih para calon pembeli.
“Ya tetep mesakke lah Lik! Kan ndak semua orang punya pikiran seperti njenengan. Apalagi jaman sekarang orang-orang gampang percaya kabar apus-apus.” si Ingah-ingih meraih satu ceker ayam.
Yak, metode Lik Ngadiyo berhasil.
“Tapi yang paling mesakke sih ibunya Via Vallen.” si Ingah-ingih jeda sejenak ngrokoti ceker ayam di tangannya dengan gusto.
“Bayangkan, sejauh ini saya belum pernah nemu ada ibu yang pengen anak e tumbuh besar jadi wong wedok ra bener.”, diikuti suara gemeretak gigi si Ingah-ingih meng-klethak ceker ayamnya.
“Ibu mana coba, yang pengen anak perempuannya punya profesi jadi PSK? Ha dididik, disayang-sayang, didoakan yang baik-baik dari kecil sampai besar e. Kok mendadak ada orang yang petentang-petenteng ngeple-ngeplekke anak wedok e!” ujarnya setelah menghabiskan ceker ayam di tangannya.
Benar-benar habis tanpa tersisa tulang belulangnya!
“Es teh e Lik. Kesereten e ini.” katanya ke Lik Ngadiyo
“Ha gimana ndak kesereten, ceker sak balung-balung e tok lek kok.” ejek Lik Ngadiyo sambil membuatkan pesanan si Ingah-ingih ini.
“Emosi e Lik. Kalau cen Via Vallen dianggap maling karena mencuri hak menyanyikan lagu tanpa ijin, ya cukup dituduh sesuai kesalahannya, jangan meluas sampai menuduh ke mana-mana.” Ingah-ingih menjelaskan dengan suara kesereten.
“Cepet Lik, seret tenan e ini.” lanjut si Ingah-ingih mendesak.
“Ya sabar to, salah e makan ceker kok cenanangan. Itu disurung pakai tape goreng dulu biar bisa turun. Habis itu baru disentor es teh.” Lik Ngadiyo masih sempat mendekatkan tape goreng sebelum ia menuangkan teh ke gelas di depannya.
Malam ini saya benar-benar disuguhi trik berdagang jitu a la Lik Ngadiyo. Menyadari hal itu saya cepat-cepat membayar apa saja yang sudah saya nikmati di sini, lalu bergegas pulang. Saya khawatir jadi ikut terlena teknik marketing handal beliau.
Dalam perjalanan pulang, saya terngiang-ngiang potongan sebuah lagu milik Sonny Curtis dari the Crickets yang dipernah dipopulerkan The Bobby Fuller Four, dan kembali dibawakan oleh The Clash, sebuah band punk rock dari Inggris.
I lost my girl and I lost my fun
I fought the law and the law won
I fought the law and the law won
Keliatannya walaupun dinyanyikan dalam irama dangdut koplo, lagu itu rasanya masih memiliki ruh yang sama, persis seperti kalau dia dinyanyikan dengan gaya punk rock, deh.
1 Pingback