Menurut sejarah, penanggalan Jawa adalah modifikasi dari penanggalan Çaka dengan penanggalan Hijriyah yang dilakukan Sultan Agung pada 1625 M.
Hasilnya adalah, perhitungan kalender berubah mengikuti sistem bulan / qamariyahnamun angka tahunnya meneruskan angka tahun Çaka yang sebelumnya telah berjalan. Sehingga tahun 1547 Çaka diteruskan dengan tahun 1547 Tahun Jawa.
Bisa jadi karena hal tersebut maka beberapa nama-nama bulan Tahun Jawa mirip dengan nama Tahun Hijriyah, seperti Sapar (Safar), Jumadilawal (Jumadil Awal), Jumadilakir (Jumadil Akhir), Rejeb (Rajab), dan Sawal (Syawal).
Walau demikian, masih ada unsur-unsur asli lokal yang terdapat pada penanggalan Jawa ini, sehingga tetap membuatnya unik dan khas.
Salah satunya adalah selain hitungan satu minggu yang terdiri dari 7 hari, ada pula dalam penanggalan Jawa hitungan satu minggu yang terdiri dari 5 “hari” atau disebut dengan “pasar” atau “pasaran”. Lima pasaran tersebut terdiri dari Legi, Paing, Pon, Wage, dan Kliwon.
Sehingga, jika kita menyebut suatu hari tertentu, tidak hanya mengatakan “hari Senin” saja. Melainkan harus memperhatikan pula hari Senin itu jatuh pada pasaran apa. Jadi mereka akan mengatakan “hari Senin Wage” atau “Jumat Kliwon”. Beberapa surat kabar lokal setahu saya masih menggunakan kombinasi pasaran dan hari ini untuk tiap terbitannya.
Ada beberapa fungsi Pasaran ini, biasanya untuk penanggalan peringatan hari-hari tertentu seperti kelahiran atau kematian seseorang, menentukan hari baik untuk melakukan kegiatan-kegiatan penting, serta yang tak kalah uniknya adalah untuk menentukan pasar mana yang akan aktif di hari tertentu.
Kalau ada yang berpikir, ”Berarti, pasarnya tiap hari pindah?”, maka kawan-kawan, pikiran itu benar sekali.
Memang pada masa lalu dan di beberapa desa yang relatif jauh dari kota pada masa kini di Yogyakarta, pasar-pasar di desa selalu berpindah-pindah sesuai dengan Pasaran yang jatuh pada hari itu.
Jadi bisa saja kejadian saat Wage, pasar yang digunakan adalah yang sisi utara desa, saat Pon pasar yang digunakan di barat desa, dan demikian seterusnya.
Tapi belum tentu setiap desa memiliki lima lokasi pasar tradisional sesuai jumlah pasaran yang ada, sebab banyak pula satu lokasi pasar yang dipakai berjualan pada dua pasaran yang berbeda, namun tidak berurutan.
Jadi pasar Pon merangkap Kliwon, atau pasar untuk Wage dengan Legi, namun jarang yang pasar Kliwon merangkap Legi, karena dua pasaran tersebut berurutan.
Saya tidak tahu pasti apa alasan orang-orang jaman dahulu membuat pasar yang berpindah-pindah setiap harinya ini. Mungkin saja orang-orang dahulu sudah lebih paham bahwa hal yang memengaruhi harga di pasar tidak hanya bergantung pada permintaan dan penawaran, namun juga dipengaruhi oleh jarak antara barang dengan calon pembeli. Mungkin sih..
Nah, apakah kawan-kawan pernah berbelanja atau sekadar mengunjungi pasar tradisional yang berpindah-pindah ini?
Kalau belum, tidak ada salahnya mencoba dan temukan pengalaman menarik, seperti misalnya sudah jauh-jauh dari kota menuju pasar yang dituju, ternyata pasar tersebut kosong melompong karena pas bukan hari pasarannya. 🙂
Originally published at trulyjogja.com on August 5, 2014.
2 Pingbacks