Ada pengalaman baru saat melewatkan pergantian tahun di Pulau Binongko, sebuah pulau di gugusan Kepulauan Wakatobi yang letaknya paling tenggara atau paling jauh dari Pulau Sulawesi.
Pulau Binongko ini sebagian besar daratannya terdiri dari batu yang sangat keras. Warga setempat ada yang menyebutkan daratan di pulau ini bukan tanah berbatu-batu, tapi batu bertanah-tanah.
Begitu kerasnya batu itu, kalau ada yang menggali akan muncul percikan-percikan bunga api kecil akibat benturan logam penggali. Bayangkan beratnya kerja penggali kubur jika ada warga yang harus dimakamkan.
Begitu kerasnya, sampai ada yang mengibaratkan Binongko ini bukanlah pulau, melainkan satu bongkah batu yang berada di antara perairan Laut Banda dan Laut Flores.
Angkutan laut, satu-satunya transportasi ke dunia luar, pada musim angin timur memberikan tantangan bagi yang ingin datang dan pergi dari pulau ini.
Karena air laut yang biasanya nampak biru tenang seperti cermin, jadi bergelombang besar-besar. Sehingga warna air laut yang terlihat hanya putih saja karena buih ombak besar.
Untuk urusan listrik dan penerangan, jangan khawatir. Di pulau ini sudah ada jaringan listrik milik PLN yang mengalirkan listrik ke seluruh penjuru pulau ini di dari sore hingga pagi saja. Kalau tidak salah pada pukul 6 sore – 6 pagi.
Ketersediaan air untuk memasak, mandi, dan mencuci juga relatif mudah ditemukan. Selain sudah ada saluran ledeng, pulau ini memiliki banyak gua yang di dalamnya terdapat sumber air.
Hanya saja air yang didapatkan di seluruh sumber air yang ada di pulau ini, rasanya agak asin karena bercampur air laut. Air inilah yang digunakan untuk minum, makan, mandi, dan keperluan harian lainnya.
Biasanya untuk keperluan minum dan memasak, air yang agak asin ini dicampur dengan air hujan yang ditampung penduduk selama musim hujan. Jadi rasanya bisa agak sedikit tawar.
Namun selama saya di Binongko dan bertemu dengan penduduk di sini, mereka semua tampak gembira dan berbahagia. Mereka nyaman, tenteram, dan bisa berdamai dengan kondisi seperti itu. Bahkan tetap ramah dengan orang-orang yang baru datang ke pulau tersebut.
Meskipun untuk beberapa orang yang datang dari latar belakang kebudayaan yang orang-orangnya biasa bertutur kata pelan dan lembut, saat mendengar gaya berbicara masyarakat sini yang keras dan cepat, bisa dikira sedang marah-marah.
Bahkan buat saya yang lama tinggal di Jogja seolah-olah mereka hendak berkelahi. Padahal sebenarnya kawan-kawan yang ada di Binongko ini sangat baik, perasaannya halus, dan rasa kekeluargaan serta semangat tolong menolongnya sangat besar.
Sehingga yang tadi saya kira sedang bertengkar, ternyata hanya berbicara biasa. Mereka berdiskusi memutuskan di mana sebaiknya rombongan saya akan bermalam di pulau tersebut, karena nyaris semua penduduk yang ada di kampung yang kami kunjungi bersedia dan bahkan menawarkan pada kami untuk menginap di tempat tinggal mereka selama kami di pulau ini.
Hal lain yang juga menyenangkan selain keramahtamahan para sobat di Binongko ini adalah, meskipun kondisi alam dan lingkungan yang tiap hari mereka hadapi benar-benar menantang dan keras, namun tak pernah sekalipun ada kata-kata semacam “<<isi nama daerah/kota sendiri>> keras, Bung!”, dari mulut mereka.
Jauh berbeda jika dibandingkan dengan orang-orang yang lama tinggal di kota-kota besar yang entah dengan bangga atau dengan jemawa kerap menyerukan ungkapan serupa pada para pendatang. Padahal kota/atau daerah tersebut jelas lebih maju, modern, nyaman, dan nyaris semuanya tersedia, ketimbang Binongko.
Jadi, kira-kira seberapa “keras” daerahmu?
Haekal
Menemukan fakta baru, kalau listrik di sana hanya menyala jam 6 sore – 6 pagi saja, bagaimana dengan infrastruktur internetnya mas? Apakah router di sana hanya menyala pada 6 sore hingga 6 pagi saja?
temukonco
keliatannya bts-nya providernya (yang memang cuma ada satu) hidup kok Mas. Mungkin pakai baterai kali ya, jadi bisa tahan kalau siang.
Jarwadi MJ
Gunungkidul keras mas, hahaha
terutama bebatuannya. 😀
temukonco
Tapi batu-batunya lebih ekstrim di sana e Mas. Di mana-mana ki cen watu tu tenan. Pasir putih saja cuma ada satu pantai saja. Sementara di bagian lain yang bersentuhan dengan laut, batu semua isinya… 😀
Antyo®
Menarik kayaknya pulau itu.
Semoga kelak ada rezeki, bisa ke sana.
temukonco
Aamiiiiin…
Biasanya kalau mau ke Pulau Binongko, baik pakai pesawat maupun kapal, transit ke Pulau Wangi-wangi dulu, Paman. Setelah itu dari Wangi-wangi perjalanan dilanjutkan ke Pulau Binongko via laut.
Zam
mungkin dari situlah nama pulau tukang besi berasal ya, mas? karena keras? 🤔
temukonco
Mungkin juga Mas, tapi ternyata para pandai besi di sini malah mengambil bahan baku untuk produksinya dari luar pulau e. Karena di pulau ini ternyata ndak ada bahan baku seperti biji besi gitu.
davi
”Artikel nya bagus gan, ane jadi tau dan tambah pengetahuan, Follower blog
Oh iya, Blog agan sudah ane Follow, jika berkenan Follback juga blog saya http://desadiacehonline.blogspot.com/ ”
#followback
#followme
temukonco
Maksudnya follback blog itu gimana ya? Maaf enggak begitu paham…
Fanny_dcatqueen
Waah ga ada apa2nya kalo dibandingin Ama Binongko ini mas :o. Aku takjub juga pas baca airnya masih asin, dan hrs dicampur air hujan biar payau. Apa Krn udh terbiasa jd masyaraktnya ga ngalamin apa2 dengan air payau gitu yaaa.
Kampungku di Sorkam, Tapanuli, listrik jg masih byar pet, jalanan jelek, sinyal mati idup. Tp setidaknya air udh tawar. Ga pake air payau gitu. Makanya kubilang, ga ada apa2nya kalo dibandingin Ama Binongko sih.
Apalagi tanahnya keras gitu juga 🙁
temukonco
Iya Kak… Benar-benar tabah dan tahan banting penduduk di sana.