Pada jaman dahulu kala saat saya masih jadi mahasiswa muda belia hijau memesona (duluuu…), seperti halnya mahasiswa di Yogyakarta pada masa itu umumnya, saya bersama kawan-kawan sering begadang sampai pagi, terutama saat liburan. Suatu hari, setelah begadang dan kembali ke kamar kos saya yang waktu itu menghadap jalan kampung, sehingga dapat melihat jelas orang-orang yang berlalu-lalang, ada pemandangan yang menarik perhatian saya.
Bukan, pemandangan itu bukan gadis-gadis muda yang akan berolahraga atau jogging di lapangan IKIP Yogyakarta (kalau sekarang lapangan UNY, keliatan banget tuwir-nya ya?) yang kebetulan dekat kos saya. Karena saat itu pagi masih sangat dini.
Pemandangan yang saya lihat di pagi buta saat itu adalah sesosok simbah-simbah dengan berpakaian kebaya apik dan rapi, berjalan kaki pelan thuyuk-thuyuk di jalan kampung itu.
Karena kasihan dan penasaran apa yang jadi alasan simbah-simbah itu berjalan kaki di pagi buta ini, bahkan mendahului dedek-dedek remaja jogging Minggu pagi, saya menyapa beliau dan bertanya hendak ke mana kok jalan kaki se-mruput ini.
Simbah putri tersebut menjawab dengan ramah,”Ajeng tindhak ngibadah, Mas…”, lalu tersenyum dan kemudian melanjutkan perjalanannya.
Walaupun bukan termasuk seorang yang beraliran garis keras, saat itu saya termasuk orang yang tidak mengucapkan selamat kepada kawan atau kenalan yang sedang merayakan hari besar kepercayaan yang berbeda dengan saya.
Alasannya, ya karena saya diajarkan bahwa selain apa yang saya percayai, kepercayaan-kepercayaan lain yang ada di dunia ini salah. Karena salah, maka saya tidak boleh mengucapkan selamat merayakan hari besar kepercayaan-kepercayaan lain, biar saya tidak ikut salah dan kemudian masuk neraka.
Namun pertemuan saya dengan Simbah Putri yang thuyuk-thuyuk itu memunculkan pertanyaan usil pada diri saya: OK, Simbah itu kepercayaannya tak sama dengan saya, tapi mosok ya Tuhan saya tega mblasukke Simbah Putri yang ternyata rutin pada tiap Minggu pagi buta itu berjalan kaki untuk beribadah kepada Tuhan dengan cara yang diajarkan pada dia sejak dia kecil, berpuluh tahun lalu, yang tidak sama dengan cara yang Tuhan saya beritahukan pada saya?
Saya yakin Simbah Putri itu, atau siapapun yang pergi ke rumah ibadah (apalagi rajin dan rutin), semuanya dilatarbelakangi niat untuk menyembah Tuhan (dalam pengertian, bentuk, atau konsep apapun yang diajarkan dan diterima lahir batin secara ikhlas), mengangungkan namaNya, berterima kasih pada apa yang telah diberikanNya, dan memohon agar dapat menjalani hidup ini dengan baik dan selalu dalam lindunganNya, rahmatNya, dan cahayaNya.
Bukankah semua itu tujuannya baik? Simbah itu (sebagaimana juga dengan orang lain dari berbagai kepercayaan dengan caranya sendiri-sendiri), dengan rendah hati berusaha berkomunikasi, mengadu, dan memohon Tuhan untuk mengasihani, melindungi, dan memberi petunjuk pada mereka.
Kalau seperti itu, mosok ya Tuhan tega kepada mereka?
Selama kepercayaan-kepercayaan itu tidak mengajari untuk merusak, membenci, atau mengorbankan manusia lain, semoga Tuhan tidak memblasukkan para pemeluk kepercayaan-kepercayaan apapun itu ke neraka.
Mungkin ada yang menganggap pendapat saya aneh, pikiran saya terlalu mengada-ada dan ngepas-ngepaske. Saya tidak bisa menyalahkan mereka yang berpendapat itu. Karena, apalah arti akal pikiran dan ilmu saya dibanding Tuhan yang pengetahuannya tak terhingga luas dan kayanya.
Tapi akal pikiran saya yang cetek dan kerdil ini, meyakini Tuhan itu baik dan pengertian, dan dia tak akan tega menghukum seseorang hanya karena sejak kecil dia diajarkan menyembah Tuhan dengan cara tertentu yang berbeda dengan kepercayaan-kepercayaan lain yang ada, yang makin hari makin kuat tertanam dalam hati dan perilaku, sehingga tak mudah terganti hanya karena dalam kehidupan bermasyarakat harus berinteraksi dengan manusia lain yang memiliki kepercayaan lain, lengkap dengan cara yang berbeda menyembah Tuhan.
Jadi, saya yakin bahwa kepercayaan saya selama ini benar, tapi saya tidak menyalahkan kepercayaan yang dimiliki orang lain selama tidak menyakiti/membahayakan umat manusia.
Saya juga yakin dan percaya bahwa pendidikan yang saya peroleh tentang kepercayaan saya ini lebih dari cukup membekali diri saya dalam berinteraksi dengan kepercayaan lain, sehingga tak akan serta merta dengan mudah dapat menggoyahkan apa yang saya percayai hanya karena saya mengucapkan “Selamat Merayakan Hari <isi dengan nama hari besar kepercayaan tertentu>”, pada penganut kepercayaan lain.
Terakhir, saya yakin Tuhan saya lebih suka melihat manusia di muka bumi ini menyembahNya dengan berbagai macam cara pada berbagai waktu yang berbeda, ketimbang saling bersitegang dan saling menghancurkan antara satu kepercayaan dengan kepercayaan lainnya.
Semoga kali ini saya benar dan semoga Tuhan bersama kita.
Semoga semua makhluk di bumi saling mengasihi dan tolong menolong dalam kebaikan.
weebee
dimana lingkungan anda tinggal kadang disitu lah sebuah “sesuatu” itu dinilai, dan di lingkungan lain “sesuatu” itu dinilai dengan cara yg lain pula.
temukonco
iya Mas..
weebee
kok dipun undang Mas… aduwwww
temukonco
Oh kulo klentu nggih? Nuwun sewu sanget nggih Mbak.. 🙂
weebee
mboten gadah sewu niki, namun gadah limangatos.. 😀
DVV
Aku pernah mendengar penuturanmu sendiri tentang cerita ini sekian tahun lalu… sangat otentik 🙂
temukonco
woh, isih kelingan to.. hahaha.. maturnuwuuun..
Ardi Wilda
Dan apakah mbah mbah tunuk-tunuk itu sempet moco blog iki? Hanya Tuhan yang tahu 🙂
temukonco
anu Mas, terakhir saya bertemu beliau, lebih dari setahun lalu, beliau sudah ndak bisa ke mana-mana, cuma tidur aja di ranjangnya. Mesakke..
bluegrandie
selalu suka tulisan mas temukonco… *mbrambangi*
temukonco
woh, saiki dadi cah masak-memasak to? 😀
fotodeka
saya baru baca mas, adem. ketimbang terjebak dalam diskusi panas dibulan 12 menjelang hari itu. dan saya nggak habis pikir kenapa setiap tahun selalu saja ada yang ngebleyer-bleyer isu harom harom… 😐
kalau haram berarti saya nyawang mbak-mbak kosan depan kui yo haram sabendino ~syalalala~