Musim durian nampaknya hampir berlalu, namun kemeriahan para pecinta durian saat merayakan datangnya musim buah yang mendapat julukan “The King of Fruit” ini masih terlihat di beberapa sudut kota.
Kemeriahan itu mengingatkan pengalaman saya saat berkunjung ke Desa Lamseujen di daerah Lhoong, Kabupaten Aceh Besar, yang terletak sekitar 60 kilometer sebelah selatan Banda Aceh.
Saya menjuluki desa ini sebagai “surga durian”, karena di desa ini, terutama dari Bendungan Lamseujen, terus ke arah hulu, di kiri kanan sungai banyak terdapat kebun durian milik penduduk sekitar, yang sebenarnya sudah sangat layak jika disebut sebagai hutan durian.
Pada musim durian, di sekitar bendungan ini menjadi ramai dengan segala kegiatan yang bersangkutan dengan durian. Mulai dari para pemilik kebun durian bersama para pemuda-pemuda yang bermalam di sekitar kebun tersebut, untuk menanti buah durian matang yang jatuh lalu mengumpulkannya di keranjang-keranjang, untuk kemudian dijual keesokan harinya.
Durian yang berasal dari Lamseujen ini, menurut saya memang tidak sebesar durian monthong yang konon berasal dari Thailand itu, tapi daging durian ini lebih tebal dan rasanya lebih manis.
Aliran buah durian dari dalam hutan ke bendungan ini dengan cara dipikul, setelah itu durian sesuai hukum penawaran dan permintaan akan terdistribusi ke warung-warung semi-permanen terdekat, ke mobil-mobil yang siap mengangkut ke Banda Aceh, ke sepeda motor – sepeda motor yang membawa ke tempat-tempat yang lebih dekat, atau langsung dibawa pulang ke rumah pemilik pohon durian itu sendiri, untuk dinikmati bersama keluarga di rumah.
Sementara itu, warung-warung semi-permanen yang beberapa hari sebelum musim durian tiba telah didirikan di lokasi tersebut, juga siap melayani para pengunjung yang ingin menikmati durian on the spot.
Selain menyediakan durian, warung-warung tersebut biasanya juga menyediakan kopi sebagai minuman yang sangat umum di Aceh, juga menyediakan kudapan-kudapan kecil serta tak ketinggalan mie instan. Bayangkan, menyantap durian berteman kopi saring hangat, di pinggir sungai yang jernih bergemericik dan udara yang segar.
Efeknya adalah para maniak buah yang aromanya khas ini, bisa lupa diri tidak memperhatikan berapa banyak buah yang telah dihabiskan, apalagi karena harganya lebih murah ketimbang jika membeli di luar tempat ini. Sehingga bagi mereka yang tidak kuat mentalnya, niscaya akan mabuk durian.
Hal yang seru lagi di lokasi ini adalah, karena dekat dengan sungai, maka biasanya anak-anak dan para remaja setelah menikmati durian langsung bermain-main dan berenang-renang di sungai ini, perpaduan antara durian yang terasa hangat di dalam tubuh dengan kesegaran air sungai yang membasahi badan, menimbulkan sensasi tersendiri yang menyenangkan.
Sayangnya, waktu itu saya tidak membawa pakaian ganti dan juga tidak bisa berenang, makanya tidak sempat bermain-main di sungai itu.
Gimana, cocok diberi julukan “surga durian” kan? π
Terakhir saya berkunjung ke tempat ini pada pertengahan 2010, entah bagaimana perkembangannya setelah hampir empat tahun berlalu, semoga tempat ini belum banyak berubah, dan syukur-syukur bisa menjadi lebih keren lagi.
Siapa yang Β pernah berkunjung ke tempat ini setelah tahun 2010? Bagaimana keadaannya sekarang?
rasarab
Berapaan mas disana?
hihihi sumatra, jadi kangen balik ke jambi π
temukonco
Jambinya di mana e Mas? Waktu saya di sana tahun 2010-an, harganya memang sangat fluktuatif sih, tapi pernah pengalaman, pas lagi panen besar dengan Rp. 10.000,- bisa dapet durian 3 – 4 buah ukuran sedang. Gimana coba? Rak rawan mabuk duren tenan to itu? π
temukonco
Aamiiiinn… Semoga bener-bener bisa ada Festival Durian di situ. Pasti dahsyat itu.. Apalagi buat para maniak durian..
a!
alamak, duriannya banyak amat. besar2 pula. sangat menggoda! π
temukonco
Sangat menggoda, serta sangat rawan membuat mabuk durian, karena selain harganya murah meriah, pasokan durian selalu mengalir seolah tanpa henti dari hutan durian yang ada di sekeliling bendungan ini π