Pekerjaan baru berhasil mengantarkan saya ke suatu daerah di jantung pulau Kalimantan, yang dikenal dengan nama Bukit Batikap.
Jantung Kalimantan bukanlah istilah yang terlalu berlebihan karena jika ditarik garis vertikal dan horizontal yang membelah pulau ini, Bukit Batikap tepat berada di perpotongan kedua garis tersebut.
Untuk mencapai Bukit Batikap, ditempuh perjalanan kurang lebih tiga hari dua malam melalui jalan darat dan sungai dari Palangka Raya.
Memang, itu sebuah perjalanan yang panjang dan melelahkan, tapi pengalaman yang diperoleh serta hasil yang dicapai adalah imbalan yang lebih dari sekedar impas.
Karena di sini bisa dirasakan udara segar, air sungai jernih, suara bermacam-macam burung sepanjang hari, serta yang tidak kalah istimewa, semua orang saling berbicara dan menyapa dengan ramah, tanpa disibukkan tangan dan pandangannya pada aktifitas online melalui handphone masing-masing.
Hal ini menjadi menarik, karena kita “dipaksa” untuk kembali berinteraksi dengan sesama manusia dengan teknik yang sudah ada sejak dulu kala, yaitu langsung berbicara serta bertatap muka satu sama lain, efek yang langsung terasa adalah “vocabulary” bahasa tubuh jadi bertambah.
Pengalaman lain yang tak kalah hebohnya adalah melakukan arung jeram, dari hilir maupun hulu berkali-kali dengan menggunakan kapal kayu bermotor tempel, hingga memunculkan kesan bahwa arung jeram wisata yang sering ditawarkan itu, benar-benar hanya untuk amatir. No offense lho yaa.. 😀
Tapi yang lebih membanggakan adalah, di sini ke-Indonesia-an sebagai sebuah status dan semangat benar-benar masih terasa.
Setidaknya penduduk setempat nampak mempersiapkan dan menghias kampung mereka dengan bendera-bendera kecil merah putih, dan “gapura” kampung mereka juga dipercantik dengan warna merah putih dan tulisan “Dirgahayu RI ke..”
Mungkin buat orang-orang kota tidak ada yang istimewa dari fakta ini, tapi mengingat kondisi wilayah ini yang tidak tersentuh jaringan handphone,TV, dan Radio, serta jauh, lama, dan mahalnya biaya yang dihabiskan jika ingin pergi ke kota terdekat, dan lebih jauh, mahal, dan lama lagi jika ingin ke ibukota propinsi, maka tetap terpeliharanya rasa sebagai bagian dari sebuah entitas bernama Indonesia, benar-benar membuat malu mereka yang mulai tercerabut ke-Indonesia-annya.
indie
Terus, di sana urusan kamar mandi masih jadi urusan kolektif nggak Mas? *eng-ing-eeeeng*
temukonco
Nek kuwi tergantung situasi dan kondisi sih hehehe..