Ketika awal-awal masa pageblug ini melanda dan orang-orang mulai diminta lebih banyak tinggal di rumah, mengurangi berpergian, dan membatalkan acara kumpul-kumpul, hal yang diutarakan untuk membesarkan hati satu sama lain kurang lebih senada:
“Sabar ya… Bertahan ya… Nanti kalau sudah kembali normal, kita bisa berkegiatan dan kumpul-kumpul lagi kok.”
Memang maksudnya benar. Ingin memberikan energi dan semangat positif pada para kawan, handai taulan, dan sanak saudara. Agar sama-sama kuat menghadapi segalanya.
Namun di bagian “nanti kalau sudah kembali normal” pada kalimat itu, seiring berjalannya waktu, kok rasanya makin jauh dari bayangan ya?
Bukan. Bukan bermaksud memadamkan semangat yang oleh banyak orang mati-matian dijaga. Harapan bahwa semua ini akan berakhir pastilah tetap hidup menyala terang benderang.
Normal yang akan kita temui nanti akan tidak sama dengan “normal” sebelum kejadian besar ini.
Hanya saja, setelah berhari-hari dalam kondisi seperti ini. Mengisolasi diri, tidak keluar rumah kalau tidak penting sekali, harus pakai masker, bawa-bawa handsanitizer ke mana-mana, dan makin rajin cuci tangan, nampaknya kita semua harus menerima kenyataan kalau: IYA. Semuanya pasti akan berangsur NORMAL.
Namun, TIDAK. Normal yang akan kita temui nanti akan tidak sama dengan “normal” sebelum kejadian besar ini. Karena kita akan menuju NORMAL yang BARU. Bukan KEMBALI NORMAL seperti yang DULU.
Tenang, “normal yang baru” itu jangan dilihat sebagai suatu yang melulu menakutkan karena adanya perubahan-perubahan, yang mungkin belum pernah dilihat atau rasakan sebelumnya.
Kalau melihat yang sedang berjalan sekarang, setidaknya sangat mungkin “normal yang baru” nanti bentuknya berupa makin tingginya kepedulian kita pada kebersihan diri, lingkungan, dan orang lain.
Orang-orang jadi rajin cuci tangan, tidak batuk dan bersin-bersin sembarangan, tidak sewenang-wenang menyentuh wajah sendiri apalagi orang lain.
Sehingga ibu-ibu yang bawa bayi ke acara kumpul-kumpul tidak perlu repot-repot lagi ngomel ke orang-orang yang mencubiti pipi bayinya karena gemas.
Bisa juga, “normal yang baru” itu berupa perbedaan cara memaknai dan merasakan sesuatu. Dalam hal ini sangat mungkin tentang bagaimana interaksi dengan orang lain, yang bisa jadi akan memperlebar jarak atau menambah satu kategori lagi jarak intim antar-manusia (Proksemik).
Seperti lagu yang diperdengarkan pada sebuah pameran di Kelas Pagi Yogyakarta 17 Desember 2019 lalu, ini:
Lagu yang diperdengarkan di pameran itu, walaupun persis sama, namun biasanya akan memiliki memori pengalaman “keadaan normal” yang berbeda-beda tiap generasi.
Bagi generasi dari masa perjuangan, yang mungkin akan terbayang adalah semangat patriotisme, kebanggaan, harapan, dan cita-cita tentang sebuah negara belia nan indah, yang baru saja mereka perjuangkan kemerdekaannya.
Berbeda lagi dengan generasi tahun 65 – 66 yang mungkin sekali memori kolektif mereka membawa kepada siaran radio pemerintah di sebuah pagi yang tak terlupakan.
Sementara, generasi masa ORBA selain mengenangnya sebagai tanda dimulainya siaran berita di radio, sekaligus sebagai penanda waktu yang umum karena siaran berita radio tersebut hampir ada setiap satu jam sekali. Kecuali jam 09:00 WIB pagi, karena siaran berita diganti acara Varia Nusantara.
Demikian pula halnya dengan generasi angkatan tahun 1998, serta tentu saja generasi masa sekarang, yang memiliki memori yang berbeda dengan generasi selanjutnya. Memori-memori yang mendasari makna dan rasa terhadap “normal yang baru” dalam versi dan waktunya masing-masing.
Jadi bersiaplah. Kita akan menuju keadaan “normal yang baru”.
Selamat Hari Air
Normal yang baru kalau buat sesepuh ya berarti sudah pernah mengalami beberapa kali sebetulnya ya?
btw pengin ikutan #31HariMenulis tapi kok ya kadang moody banget, heheheeee… apa pas lagi rajin bikin beberapa terus di schedule njih?
temukonco
wah pasti sudah berkali-kali. gumantung umur Mas. Wahihihi…
kenapa ndak jadi ikutan #31HariMenulis, Mas?
ini aja saya ndak apakah bisa mulus terus tanpa absen kok… 🙂