Pitikih adalah bentuk singkat dari frasa “Piye to iki” yang makna Bahasa Indonesia-nya kurang lebih “Gimana sih ini?”.
Ungkapan pitikih ini biasa diucapkan orang-orang Yogyakarta (atau setidaknya orang-orang yang lama tinggal di Yogyakarta yang saya kenal baik) untuk merespon sebuah kegiatan, tindakan, ucapan, yang dianggap aneh, wagu, berlawanan dengan logika umum, atau semacamnya.
Penggunaan ungkapan pitikih ini biasanya lebih tepat bila ditujukan pada pelaku sebuah tindakan tersebut, yang dalam anggapan umum orang atau pihak yang melakukan tindakan itu seharusnya memahami apa yang dilakukannya tersebut keliru atau tidak pada tempatnya.
Contohnya jika ada cowok yang nyaris semua orang kampung tahu kalau dia berpacaran dengan si A, tapi ternyata tanpa angin tanpa hujan mendadak menikah dengan si B.
Maka sangat mungkin ada yang berkomentar, “Le yang-yangan suwi karo si A, kok dumadakan le rabi karo si B. Pitikih?”
Kurang lebih demikian salah satu contoh penggunaan ungkapan pitikih.
Ungkapan itu yang terus menerus terbersih di benak saya beberapa hari ini. Pertama, ketika membaca berita Nalar Pincang UGM atas Kasus Perkosaan yang diturunkan Balairung Press, 5 November 2018 lalu.
Kalau kawan-kawan membaca berita tersebut, mungkin bisa memahami mengapa ungkapan itu terbersit di benak saya. Semoga kawan-kawan sempat dan berkenan membacanya, karena tidak akan banyak saya ceritakan di sini. Benar-benar membuat emosi.
Pitikih kedua terbersit lagi ketika membaca berita ini. Bagian yang jadi pemicunya adalah ini:
“Saya sangat menyayangkan dari media internal (BPPM Balairung UGM) memblow up (kasus pemerkosaan), dan seolah-olah ada pembiaran, padahal sama sekali tidak.”
dan ini:
“Sebagai lembaga pendidikan ya pendekatannya pendidikan,” ucapnya.
Bagaimana tidak, pertama, kasus pemerkosaan adalah kasus yang serius dan itu bukan delik aduan. Jadi sifatnya sama seperti kasus pembunuhan. Sehingga sangat wajar kalau hal ini diblow up. Agar masyarakat luas tahu, terinformasi, waspada, dan turut mengawal proses hukumnya.
Kedua, karena ini bukan delik aduan. Bagaimana mungkin bisa diselesaikan oleh lembaga pendidikan lewat pendekatan pendidikan?
Selain secara hukum jelas tidak benar, juga jika hal itu benar-benar mungkin dilakukan, bagaimana bentuk “pendekatan pendidikan”-nya yang menyelesaikan masalah ini, tanpa merugikan pihak korban?
Parahnya lagi itu pernyataan itu diungkapkan oleh seseorang pejabat di lingkungan institusi pendidikan tinggi lho. Pitikih?
Ini belum selesai sampai situ, tadi sore saya baru melihat twit SAMSARA (sebuah NGO yang peduli pada hak-hak kesehatan reproduksi dan seksual, terutama isu-isu kehamilan yang tak terencana) mengomentari mengomentari cara Balairung Press menuliskan berita itu.
Seolah Balairung Press menurunkan berita itu untuk mengejar klik dan sesumbar aktivisme heroik tanpa nalar yang kritis dan sensitif terhadap duka korban.
Ini menurut saya tuduhan yang tidak berdasar dan sangat berpeluang mereduksi pesan utama yang ingin disampaikan oleh Balairung Press tersebut, dan mungkin semua berita-berita serupa yang diturunkan media lain, menjadi sekadar “Hanya untuk mengejar klik”.
Padahal kalau bicara tentang mengejar klik, judul berita tersebut tidak mengandung click-bait yang biasa digunakan media-media pendulang klik.
Dan yang penting dan mungkin tidak diperhatikan SAMSARA adalah: situs Balairung Press itu sama sekali tidak ada iklannya. Jadi sebanyak apapun klik yang masuk tidak bisa langsung bisa dimonetisasi, beda dengan media lainnya. Jadi buat apa?
Kemudian yang disoroti pula tentang bagaimana Balairung Press menulis kejadian itu secara detil.
Mau tahu bedanya? Bedanya, cerita stensil adalah cerita stensil, bukan sebuah realita di mana benar-benar ada perempuan yang tersakiti secara fisik dan psikis.
Lagian, emang ada yang horny karena membaca berita yang diturunkan Balairung Press itu? Kalau iya, mungkin ini saatnya menghubungi psikolog terdekat.
Pitikih?
Selain itu saya punya keyakinan besar kalau kawan-kawan Balairung Press menulis itu niatnya untuk menyampaikan kebenaran kok, bukan untuk bikin cerita stensil non-fiksi. Terlebih lagi sudah dijelaskan kalau apa yang disampaikan itu sudah mendapat persetujuan si korban.
Hal senada juga muncul dari AJI Surabaya yang berkomentar seperti ini:
Kemudian dengan seolah ingin mengajari, dijelaskan seperti ini:
Untuk kasus bom, memang benar. Publik tidak perlu tahu bagaimana bom dibuat untuk mengabarkan ke publik bahwa yang mereka lihat adalah bom yang meledak. Tapi kan itu bom. Pitikih?
Jelas beda dengan kasus-kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual. Karena menurut saya dampak nyata tidak dijelaskannya secara detail apa dan bagaimana itu pelecehan seksual dan pemerkosaan, hingga saat ini masih banyak orang yang menganggap cat-calling itu bukan pelecehan seksual.
Masih banyak yang berpikir mengomentari tubuh dan bentuk tubuh dianggap “bercanda biasa”. Menganggap mencolek bagian tubuh sensitif itu sekadar “ah kan cuma mencolek sedikit”.
Dan seterusnya sehingga masyarakat banyak lama-lama sepakat dan menganggap hal-hal itu dianggap biasa, bukan kesalahan, dan dianggap hal yang wajar.
Sewajar masyarakat menganggap 2018 adalah tahun politik, padahal tidak ada namanya tahun politik karena setiap tahun seluruh masyarakat tetap terlibat dalam proses-proses politik, dan PEMILU bukan satu-satunya proses politik dalam kehidupan bernegara.
Sewajar masyarakat percaya kalau ada kelompok oposisi di pemerintah kita padahal, di sistem presidensiil tidak dikenal istilah oposisi.
Sewajar masyarakat turut menduga-duga kabinet bayangan sebelum presiden menentukan dan mengumumkan kabinetnya, padahal -sekali lagi- istilah kabinet bayangan tidak ada di sistem presidensiil, dan maknanya juga jauh berbeda dengan apa yang beredar di masyarakat.
Iya, separah itu pembelokan maknanya.
Oh iya, Balairung Press juga sudah memberikan jawaban atas tanggapan-tanggapan yang muncul dari pemberitaan yang mereka turunkan tersebut, berjudul Tanggapan atas Hal-Hal yang Dipermasalahkan.
Leave a Reply