Bertemu teman, menemukan kawan

Boga, Perjalanan

Rasa tak harus sama

rasa tak harus sama

Perjalanan ke Kepulauan Wakatobi awal tahun lalu seolah jadi salah satu pembenar lagi atas kebiasaan saya yang sangat jarang memberi komentar “enak” atau “tidak enak” saat diminta menulis atau berkomentar tentang makanan atau minuman.⁣


Di masa-masa saat ini, ketika seolah selera dan cita rasa publik seolah bergantung dan harus seragam dengan para selebgram, pakar kuliner ternama, atau chef andal, tentu saja kebiasaan saya tadi kalau tidak dibilang aneh, ya dianggap sebagai sebuah kekurangan. Apalagi kalau berkaitan dengan tulisan-tulisan kuliner.⁣

Selain karena kurang ahli menggunakan ungkapan-ungkapan kiwari untuk mengekspresikan enaknya makanan/minuman. Juga karena saya sangat yakin kalau standar “enak” itu sangat personal dan jika sangat dipengaruhi lingkungan sosial budaya orang itu saat mereka tumbuh dan besar.⁣

Lha wong untuk menyeragamkan pendapat mengenai minuman sesederhana air putih saja, masih dihadapkan berbagai perbedaan kok.⁣

Misalnya saudara-saudara kita yang lahir dan besar di Pulau Binongko, salah satu pulau di gugusan Kepulauan Wakatobi.⁣

Karena kondisi Pulau Binongko yang merupakan bongkahan batu karang, maka sumber air tawar tanah di pulau ini hampir dibilang tidak ada.⁣

Untuk keperluan mandi dan mencuci, penduduk menggunakan air yang ada di gua-gua karang yang banyak ditemui di sini. Walaupun berasal dari dalam gua, namun air ini rasanya tidak tawar, melainkan agak asin atau payau.⁣

Sementara untuk minum dan memasak, digunakan air payau yang sudah dicampur dengan air hujan. Jadi walaupun masih agak terasa asin, tapi tidak seasin air dari dalam gua tadi.⁣

Buat para pendatang mungkin akan terasa aneh dan unik ketika meneguk air putih dari sini, bahkan mungkin akan teringat rasa oralit jika mencicipi teh hangat manis di Pulau Binongko ini. Namun untuk para penduduk Binongko, itu adalah hal yang sangat wajar dan biasa.⁣

Sebaliknya, untuk beberapa penduduk Binongko, terutama yang baru pertama kali mencicipi air putih dari luar pulau, biasanya akan merasa aneh. Beberapa orang bahkan membubuhkan sedikit garam di air putih tersebut. Supaya rasanya mirip dengan rasa air putih yang biasa dikenalnya di kampung halaman.⁣

Dari situ kemudian bisa dibayangkan ya…⁣

Jangankan untuk mendapatkan pendapat seragam atas makanan yang sudah diberi berbagai macam bumbu dan dimasak dengan baragam cara.⁣ Soto, misalnya.

Lha wong untuk menyeragamkan pendapat mengenai minuman sesederhana air putih saja, masih dihadapkan berbagai perbedaan kok.⁣

Jadi selamat berpuasa Ramadan hari pertama.⁣
Selamat berbuka puasa.⁣
Jangan lupa cuci tangan.⁣
Semoga sehat selalu!⁣

2 Comments

  1. Zam

    wah, iya juga ya. soal air minum ini di sini juga. saya biasa minum air keran, tapi sodara yang sempet datang berkunjung kurang cocok karena merasa ada rasa logamnya.. 😅

    • Wah, jadi inget ada temen yang dulu jaman air mineral kemasan belum populer, dia tidak bisa minum itu. Alasannya rasanya aneh dan bikin mual mau muntah.

      Namun ketika air mineral sudah sangat umum di mana-mana, teman satu ini jadi berbalik. Sekarang kalau minum air sumur (walaupun sebelumnya sudah dimasak sampai mendidih) jadi tidak bisa. Alasannya sama. Rasanyan aneh dan bikin mual. 😀

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.