Bertemu teman, menemukan kawan

Boga, Fiksi

Tempe

tempe

Kebiasaan baru sejak kembali ke Jogja dan glidig di kota ini, adalah jalan-jalan ngemong anak di pagi hari, sekalian mampir beli bubur gudeg yang rasanya mak nyuss itu ke tetangga yang sudah menganggap saya langganannya.

Saya tau sudah mulai dianggep langganan sama Bu Sum, penjual bubur gudeg itu, karena: Pertama, saya sudah boleh ngutang di sana. Eits, tapi jangan kira saya ndak mampu mbayar bubur gudeg itu, njuk kudu ngutang.. Tidaakk.. Sebab tepatnya saya dipaksa untuk ngutang karena Bu Sum waktu itu ndak punya uang kembalian.

Kedua, Bu Sum sudah mulai rasan-rasan atau mungkin kalo istilah anak-anak sekarang curhat kepada saya, sama seperti dia curhat pada Ibu-ibu lain yang kerap membeli bubur gudeg di sana. Iya, bener, saingan saya beli bubur gudeg adalah ibu-ibu sekitar yang lebih cekat-ceket dan sat-set ngambil bubur sendiri saat Bu Sum sibuk melayani pembeli lain. Lha saya jelas ndak berani ikut-ikutan sat-set gitu.. Lha wong Bapak-bapak je.. Mosok ikut suk-suk-an sama ibu-ibu berdaster. Teneh, horror.. 😀

Nah, di sinilah salah satu keuntungan dianggap langganan oleh Bu Sum, karena hak kita sebagai pembeli dilindungi dan diayomi oleh penjual. Setidaknya Bu Sum akan mengingatkan ibu-ibu yang terlalu semangat cekat-ceket ambil bubur agar meninggalkan seporsi bubur untuk jatah pelanggan setia, atau untuk menghindari potensi konflik, penjual gudeg yang telah bercucu satu ini mengambil tindakan preventif dengan cara menyisihkan seporsi bubur gudeg untuk saya. Jadi aman dan tetap kebagian.

Tapi ya itu, imbalannya adalah para pelanggan harus menjadi pendengar yang baik jika Bu Sum mulai rasan-rasan. Tapi sungguh, itu bukan hal yang buruk kok, tak jarang malah menghibur, dan bahkan bisa pencerahan, serta acuan informasi agar tidak ketinggalan kabar terbaru, terutama dalam lingkup dusun setempat.

Kemudian, dua hari setelah pengumuman kenaikan BBM, saya sudah mempersiapkan diri untuk menerima kenyataan bahwa harga bubur naik dan mempersiapkan telinga mendengarkan rasan-rasan Bu Sum.

Ternyata saya salah, harga bubur tidak naik, hanya porsinya jadi sedikit lebih kecil, namun urusan rasan-rasan tetep dilakukan. Seperti sudah diduga sebelumnya, kali ini Bu Sum bercerita seputar dampak kenaikan BBM.

“Kok ya BBM itu ndadak naik ta ya Mas? Apa ndak kesian sama orang-orang kayak saya ini.” Bu Sum memulai rasan-rasannya sambil cak-cek mengambil tempe gembus dan tempe goreng untuk pembeli sebelum saya (yang saya yakin belum jadi langganan, karena rasan-rasan-nya ke saya, bukan ke pembeli itu).

Lha ini, misalnya ngikutin BBM mundak, mosok terus saya naikkan bubur sebungkus gini jadi dua ribu? Ya ndak tega sama yang beli no..” sambung beliau sambil mengambil dua enthong bubur ke atas daun pisang lalu membungkusnya. Saya sering kagum dengan ketepatan takarannya, selalu tepat, kalau beli seribu, pasti selalu tepat. Tidak kebanyakan, tidak kesedikitan.

“Lebih mesakke lagi bakul tempe di pasar Mas. Sekarang tempenya makin tipis. Ketika saya tanya, kok tempenya makin tipis, katanya ya ndak tega menaikkan harga tempe, jadi biar tetep untung, ketebalan tempe yang dikurangi, jadi harga tetep sama.” kali ini Bu Sum dengan gemas mengambil beberapa potong tempe dan memasukkan ke plastik untuk pembeli tadi.

Saya lalu bertanya,”Lha kalo dinaikkan harga tempenya, emang kenapa to Bu? Kan ya kudune maklum karena BBM naik?”

Whelhaa.. Ya mboten gitu Mas.. Ya ra ilok jual tempe sampe harga lima ribu sebungkus di pasar. Ha mung tempe lho Mas…” sambil mulai membungkus bubur untuk saya, tetap seribu, tapi takaran sedikit mengecil.

“Bakulan itu Mas,” lanjutnya sambil langsung mengambilkan sayur krecek untuk saya, padahal saya belum bilang mau beli itu. “ya ndak cuman mikir untung saja, ada masalah pantas dan tak pantas juga.”

“Tapi ya bukan berarti njuk kalo ada kenaikan lagi, tempenya ditipiske lagi sampe semrawang gitu.” kali ini sambil membungkus tempe biasa lima, dan tempe gembus juga lima. “Kalo dirasa bener-bener ndak bisa diakali, baru harganya terpaksa dinaikkan, dan kalo sudah sepeti itu, pembeli biasane paham.”

Saya cuma manggut-mangut mendengar penjelasan Bu Sum ini.

Sampun Mas, semuanya jadi sepuluh ribu.” kata Bu Sum sambil menyerahkan belanjaan saya.

Setelah membayar, saya segera pulang, karena si Genduk sudah mulai krengak-krengik tak sabar menanti jatah sarapannya.

Di perjalanan pulang saya berguman, “Hai para pengikut Adam Smith dengan teori invisible hands-nya, di sini ide pasar bebas kalian lengkap dengan konsep demand and supply-nya masih bisa diredam dengan semangat ra ilok bakul tempe pasar tradisional.”

Catatan: Awalnya pengen ikutan “ng-Umar Kayam” seperti Mas Donny di sini atau Mas Yudha di sini. Tapi ternyata saya tidak bisa. Saya lemah.. 😀

7 Comments

  1. luar biasaaa!!! saya suka tulisan ini.. teruskan maass!!!

  2. Hmmm… Ibu-ibu berdaster…

  3. Saya seneng Gudeg mas, tapi semakin tipis tempe itu adalah realita tempe kripik. Bisa jadi karena ketipisan tempe itu nantinya si penjual akan menawarkan tempe kripik bukan lagi tempe medoan

    • temukonco

      hahaha.. realita tempe kripik.. apik kuwi Mas, istilah e 😀

    • huaaah apik iki! :))) makane saiki akeh produk olahan tempe kripik pedas dengan tingkatan level pedas yang berbeda.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.