Sempat heran ketika seorang kawan berpendidikan tinggi dan menguasai lebih dari satu bahasa mancanegara selain bahasa Inggris, saat mengisi sebuah formulir di bagian “bahasa yang dikuasai”, dengan yakin menuliskan bahasa daerah yang dikuasainya.
“Bahasa Jawa dengan 3 variannya”, demikian tulis kawan saya di formulir itu dengan penuh percaya diri.
Awalnya saya mengira apa yang dilakukan kawan ini sekadar bercanda atau lucu-lucuan saja.
Namun mengingat dia orang yang serius untuk urusan hal ini, apalagi formulir yang diisi waktu itu adalah sebuah pra-syarat untuk suatu kegiatan penting, maka bisa dipastikan kawan satu ini benar-benar serius.
Karena masih penasaran, akhirnya saya beranikan diri bertanya tentang alasan dia menuliskan bahasa daerah yang merupakan “bahasa ibu”-nya. Sementara para pendaftar lain pada bagian formulir itu mengisi bahasa-bahasa asing yang mereka kuasai. Baik itu yang dikuasai beneran, atau dikuasai “a la kadarnya”.
“Kan, tulisannya ‘bahasa yang dikuasai’, bukan khusus bahasa mancanegara aja. Lagian, tadi juga tak isi Bahasa Indonesia, kok,” demikian alasan kawan saya ini.
“Pendaftar lain pada ngisi bahasa mancanegara e,” saya berusaha menggambarkan kondisi saat pengisian formulir tadi.
“Tadi aku juga ngisi bahasa mancanegara kok,” sahutnya.
“Sudah cukup berarti tadi, ndak perlu lagi menuliskan ’Bahasa Jawa dengan 3 variannya’ segala,” saya berusaha menjelaskan dengan sangat berhati-hati.
Tujuannya supaya secara tersirat kawan ini paham maksud saya bahwa sesungguhnya kalau mengaku bisa berbahasa daerah di formulir pendaftaran kerja atau beasiswa, tidak ada nilai tambahnya di mata penyeleksi nantinya.
“Memang mungkin itu tak ada nilai tambahnya di hadapan penyeleksi.” Nampaknya kawan ini mulai paham maksud saya.
“Tapi setidaknya, penyeleksi akan tahu kalau Bahasa Jawa masih ada. Syukur-syukur mereka penasaran tentang apa saja 3 varian bahasa daerah yang saya tulis di formulir tadi.” lanjutnya.
Oh iya, ternyata 3 varian Bahasa Jawa yang dimaksud kawan saya tadi, adalah Ngoko, Krama Madya, dan Krama Inggil.
Bahasa daerah terancam punah
Lalu berceritalah kawan saya alasan mengapa ia selalu menulis bahasa daerah yang dikuasainya setiap mengisi formulir yang menanyakan kemampuan berbahasa.
Pertama, bahasa daerah itu “bahasa ibu” yang menurut kawan saya ini, ia memiliki kewajiban moral untuk selalu menjaganya agar tetap hidup, setidaknya selama dia hidup.
Kedua, ia ingin memberikan tempat yang lebih baik bagi bahasa daerah yang dikuasainya, dalam hal ini Bahasa Jawa. Karena selama ini bahasa daerah, dan orang yang mampu berbahasa daerah dengan baik dan benar, dianggap “biasa aja”. Seolah tidak sekeren orang yang bisa berbahasa Inggris, Jepang, atau Korea, misalnya.
Padahal menguasi bahasa daerah juga tidak mudah. Kalau tidak percaya, tanya saja pada mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya yang mengambil jurusan bahasa daerah.
Ketiga, ia takut akan bernasib seperti orang-orang kulit hitam di Amerika Serikat yang terputus atau tercerabut dari akar budaya nenek moyangnya.
Bayangkan, meskipun melalui tes DNA mereka tahu nenek moyang mereka berasal dari wilayah mana di Benua Afrika sana, tapi kalaupun bisa mengunjungi wilayah tersebut, orang-orang kulit hitam Amerika Serikat ini harus menghadapi tembok penghalang besar yaitu bahasa leluhurnya. Bahasa yang beratus-ratus tahun lalu “dihilangkan” para majikan leluhur mereka saat masih berstatus budak.
“Dan percayalah, tercerabut dari akar budaya sendiri itu rasanya tidak enak. Minimal, kamu tidak bisa mengenali siapa dan dari mana dirimu sendiri sebenarnya.” jelasnya dengan sangat serius.
“Sebenarnya setiap orang yang bisa berbahasa daerah dengan baik, seharusnya tidak perlu malu mengakuinya. Minimal dengan percaya diri menuliskan di formulir pada bagian ‘bahasa yang dikuasai’.” Masih dengan mimik muka serius ia melanjutkan.
Seolah bisa membaca pikiran saya, buru-buru kawan satu ini menegaskan kalau ini bukan lantas ia tidak mengakui dan menghormati Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.
Kamu tahu kan, gimana orang yang bicaranya medhok sangat sering dipanggil orang-orang di sekitarnya “jawir” atau “jamet kuproy”?
Namun di sisi lain ia juga tak rela bahasa daerah jadi punah begitu saja bukan hanya karena tidak perhatikan dan dilestarikan. Namun lebih dari itu, karena disepelekan, dan bahkan penuturnya sampai dibuat malu untuk mengakui dan menuturkan bahasa daerahnya sendiri.
“Kamu tahu kan, gimana orang yang bicaranya medhok sangat sering dipanggil orang-orang di sekitarnya “jawir” atau “jamet kuproy”? Belum lagi ada masyarakat yang beranggapan kalau berbicara dengan bahasa Tegal atau Banyumasan itu lucu dan layak ditertawakan, padahal si pembicara tidak sedang melucu?” ia memberi contoh yang frontal dan pedih.
Entah kalau sekarang, tapi menurut kawan saya ini, di awal tahun 2018 ada 11 bahasa daerah di Indonesia yang punah, 4 bahasa daerah dalam kondisi kritis, dan dua bahasa daerah mengalami kemunduran.
“Orang-orang kulit hitam Amerika Serikat masih beruntung, bisa melacak jejak bahasanya ke tanah nenek moyangnya di Afrika. Lha kita? Mau cari di mana lagi orang yang tahu dan masih bisa berbahasa Moksela, salah satu bahasa daerah yang punah itu?” ia menjelaskan dengan masih berapi-api.
Sementara saya hanya termangu. Antara takjub, gumun, dan sedih.
Sedih membayangkan di masa depan, anak-anak muda yang tidak lagi bisa berbahasa daerah, menganggap bahasa leluhur mereka hanya berfungsi sebagai pemanggil dan pengusir makhluk halus saja. Seperti yang sering ditampilkan di film-film horor nasional.
Selamat Hari Kebangkitan Nasional!
Hastira
iya hamoir punah ya, dari kecil sudah diajarkan bahasa indionesia
temukonco
iya, contohnya makin sedikit orang Jawa yang bisa membaca dan menulis dengan aksara Jawa.
Zam
soal bahasa ini, saya kerap dapat pertanyaan soal bahasa apa yang dipakai di Indonesia. saya juga sering menjelaskan bahwa di Indonesia ada banyak bahasa daerah yang salah satunya adalah bahasa Java yang bukan lah bahasa pemrograman itu.
intermezzo, tahukah bahwa India tidak memiliki bahasa nasional? bahasa yang digunakan secara resmi, meski bahasa Inggris dan Hindi, tidak semua orang India bisa berbahasa Inggris dan Hindi. saya juga baru tahu dari teman dari India.. 😆
temukonco
Apalagi kalau orang-orang luar yang belajar Bahasa Indonesia di Jakarta dan sekitarnya, bisa-bisa mengira bahasa Indonesia itu hanya ada yang versi “saya – kamu” dan versi “Lu – Gue” 😀
Terus itu nanti nek ada orang India yang bisanya cuma bahasa Hindi rembugan sama orang India yang bisanya cuma bahasa Inggris, rak repot ya Mas?
Antyo®
Soal fungsional saja, dan itu tak dapat dipaksakan. Menulisi papan nama jalan dengan aksara Jawa itu bagus sekaligus eksotis, bisa buat latar berswafoto. Tapi apakah warga kota, misalnya di Yogya, masih dapat membaca aksara Hanacaraka, itu soal lain. Memang itulah perbedaan orang Jawa dan orang Thailand, Vietnam, dan penutur bahasa Mandarin.
Saya masih belajar berbahasa Jawa. Masih melanggani Panjebar Semangat, yang kadang saya blogkan, tapi bahasa Jawa saya tetap jalan di tempat.
temukonco
Wah, majalah Penjebar Semangat masih ada ya Paman? Syukurlah masih bertahan dan tidak tergilas jaman. Saya dan beberapa kawan pernah membuat Jawacana (bersama mas Lantip juga) tapi ya itu, super kemringet dan ngos-ngosan juga ya… https://temukonco.com/jawacana-tabloid-bahasa-gaul-edisi-terbaru-sudah-terbit/
morishige
Bahasa kayaknya salah satu dimensi budaya yang paling dinamis sih, Mas. Cepat atau lambat pasti berevolusi dan membentuk, kalau minjam istilah yang lagi ngetren sekarang, normal-normal baru.
temukonco
Bahkan kamus KBBI juga sudah sering diupdate ya Mas…