Kebiasaan berterima kasih. Terima kasih atas didikan orangtua dan para guru di sekolah yang membuat saya sangat terbiasa mengucapkan kata “terima kasih” ketika mendapatkan bantuan atau setelah menerima layanan jasa orang lain.
Awalnya hal itu saya anggap lumrah. Lagian di pelajaran-pelajaran sekolah dan dongeng-dongeng anak-anak sangat sering didapatkan pesan-pesan agar mengucapkan terima kasih setelah mendapatkan bantuan.
Namun itu berubah ketika saya sedang di suatu coffee shop bersama seorang kawan.
Waktu itu, kawan saya ini menegur karena saya mengucapkan terima kasih pada seorang waiter yang baru saja menyuguhkan minuman dan makanan yang kami pesan.
“Ngapain bilang ‘terima kasih’? Kan itu memang tugas dia!” begitu alasan kawan satu ini.
Tampaknya dari sudut pandang kawan satu ini, waiter itu tidak lebih dari sekadar “tukang”, bukan manusia yang punya hati punya rasa dan layak mendapat apresiasi sewajarnya.
Reaksi yang kurang lebih sama saya dapatkan dari kawan lain lagi, ketika tahu saya nyaris selalu memberikan bintang lima kepada setiap driver ojek online yang telah saya pesan.
Bahkan kawan saya ini menambahkan, “Kalau aku, ngasih bintang empat aja udah bagus banget tuh⦔
Dua kejadian itu sampai sekarang sangat susah masuk di akal saya.
Apa salah dan ruginya mengucapkan terima kasih ke waiter? Dan apa ruginya memberikan bintang 5 ke driver ojol?
Memang benar sih itu tugas mereka, tapi selama dia melakukan tugasnya dengan baik, bukan berarti dia tidak layak mendapat ucapan terima kasih dan apresiasi dari pelanggannya kan?
Lha wong kepada orangtua, guru, pemimpin agama, dan tokoh-tokoh lainnya kita dengan ringan dan sepenuh hati mengucapkan terima kasih, kok.
Padahal yang dilakukan tokoh-tokoh itu pada kita juga merupakan tugasnya. Sama seperti tugas yang diemban para waiter dan driver ojol kan? Kemudan bedanya apa?
Karenanya, tak peduli apa yang dikatakan kawan-kawan tadi, saya tetap akan mengucapkan TERIMA KASIH kepada para waiter yang sabar dan baik hati, pada para driver ojol yang dengan hati-hati mengantarkan saya (dan makanan saya) hingga selamat sampai tujuan, pada teman-teman office boy yang telaten memenuhi permintaan orang-orang kantor yang kadang sak deg sak nyet. TERIMA KASIH!
papaprocknlol
Yang saya heran, kok bisa ya teman mas itu bisa bersikap seperti itu? Apa karena mereka jarang mendapatkan kata “Terima kasih”, sehingga untuk mengeluarkan kata tersebut juga harus banyak ini itunya.
Padahal bagi saya, sudah hal wajar mengucapkan ‘terima kasih’, terlebih setelah mendapatkan bantuan. Paling tidak, itu yang selalu coba ajarkan untuk anak-anak.
Hmm…terima kasih ya mas, telah mengingatkan untuk selalu mengucapkan “Terima kasih”.
temukonco
Saya ya heran Mas… Lagian itu ndak cuma satu atau dua orang e.
Sami-sami Maaaas… Maturnuwun nggiiih… π
Zam
kita (saya) mungkin sering lupa dengan kebaikan dan lupa bilang terima kasih.. tapi begitu ada masalah sedikit. ngomelnya luar biasa..
temukonco
Karena kira tak bisa melihat tengkuk sendiri, Mas… π π π
Zizy
Wah, saya pasti langsung hilang respek sama teman yang seperti itu dan gak akan lagi mengatakan dia “teman saya”.
Dalam banyak pergaulan saya dengan anak-anak jaman now (lebih banyak dari team kerja), memang tidak sedikit yang susah mengucapkan terima kasih atau maaf dalam keseharian mereka, entah karena pergaulan atau didikannya begitu.
Namun tak sedikit juga yang punya attitude yang baik, dan pastinya untuk yang seperti ini nih sampai sekarang saya masih berhubungan baik dengan mereka.
temukonco
Baiklah, berarti mungkin lebih tepatnya: βteman sayaβ yang sudah ndak pernah kumpul-kumpul dan nongkrong bareng lagi gara-gara kejadian itu π π π