Beberapa tahun lalu saat telah lewat dua tiga hari setelah cuti panjang lebaran berakhir –yang ternyata masih banyak pekerja-pekerja yang memanjangkan cutinya dengan semena-mena dengan berbagai alasan–, saya dengan beberapa kawan makan siang bersama di sebuah warung di Kridosono.
Suasana di warung-warung di kawasan itu cukup ramai, karena masih ada beberapa para pelancong yang menghabiskan hari-hari akhir mereka di Yogyakarta.
Tidak berapa lama ketika hidangan baru saja disuguhkan, datang seorang pengemis perempuan berusia sekitar 30-an tahun yang datang menghampiri kami dengan sapaannya yang khas, yaitu: “Den.. paring paring Den… Untuk makan Den…”
Karena saya tidak pernah percaya dengan pengemis-pengemis model seperti ini, maka pengemis itu saya tidak perdulikan, sambil terus menyantap makanan.
Sementara teman saya yang lain, karena dia lebih berjiwa sosial dari saya, namun kebetulan tak membawa uang recehan, maka pengemis itu ditawarinya makan bersama-sama kami.
Tapi apa yang terjadi? Pengemis itu menolak tawaran itu, dan lebih memilih diberi uang saja.
Dengan prasangka bahwa mungkin pengemis itu tidak enak atau segan untuk makan bersama kami, maka teman saya itu kembali menawarkan untuk membungkuskan makanan tersebut untuk dibawa si pengemis. Namun pengemis itu tetap menolak dan tetap memilih untuk diberi uang saja.
Teman saya yang baik dan masih lugu itu tidak habis pikir, bagaimana mungkin pengemis yang katanya tadi minta belas kasihan untuk beli makan, menolak ketika diberika makanan, dan tetap memilih diberi uang saja, kemudian langsung berlalu ketika tidak memperoleh apa yang diinginkannya.
Padahal pada masa itu, makanan termurah yang ada di warung itu seharga Rp. 2.500,-, sementara kalau misalnya dia ada uang recehan, sangat kecil kemungkinan dia memberikan uang dengan jumlah nominal lebih besar dari seribu rupiah. Logika macam apa yang ada di pikiran si pengemis itu.
Tidak berapa lama, pengemis itu datang kembali bersama seorang pengemis lainnya. Kembali dia meminta recehan sambil memberikan alasan kenapa dia menolak ketika diberikan makanan tadi.
Alasannya ternyata karena dia “beroperasi” di tempat tersebut bersama beberapa kawannya. Karenanya, ia tidak enak dengan teman-teman lainnya karena hanya dia yang diberikan makanan.
Mendengar alasan tersebut, teman saya itu makin kukuh menolak untuk memberikan uang, karena sudah jelas bahwa pengemis tersebut telah terkoordinir, dan pengemis yang terkoordinir sangat diduga kuat adalah bukan pengemis beneran.
Dan saya membenarkan tindakan kawan saya yang walau berjiwa sosial tapi tetap tak ingin tertipu pengemis abal-abal itu.
Leave a Reply