Beberapa waktu yang lalu saya menerima panggilan interview kerja di sebuah galeri seni yang cukup ternama di kota ini. Ketika tiba saatnya saya di-interview, para peng-interview menanyakan beberapa hal yang berkaitan dengan kapasitas dan kapabilitas saya sehubungan dengan jabatan yang akan saya lamar.
Semua pertanyaan dapat saya jawab dengan baik dan lancar, sampai akhirnya ada sebuah pertanyaan yang saya agak kerepotan untuk menjawabnya.
Mereka menanyakan wawasan apa saja yang saya miliki di bidang seni. Dari beberapa macam bidang seni yang ditanyakan yaitu musik, sastra, dan theater dapat saya jawab dengan lancar termasuk tokoh-tokoh seni tersebut baik yang global maupun lokal.
Akan tetapi ketika mereka menanyakan kepada saya mengenai visual art, saya tidak dapat banyak berkutik. Selain tokoh-tokoh visual art yang saya kenal hanya seputar Leonardo da Vinci, Rembrandt, dan Picasso –untuk level global–, dan Affandi, Basuki Abdullah, serta Raden Saleh pada level lokal, ternyata ada beberapa tokoh lain –terutama tokoh-tokoh seni instalasi– yang seharusnya saya kenal untuk memenuhi persyaratan mengisi jabatan tadi.
Tidak berhenti sampai situ saja, mereka kemudian menanyakan kepada saya mengapa nampaknya saya tidak memiliki wawasan mengenai visual art seluas wawasan terhadap seni-seni lain.
Jujur saja saya katakan, untuk visual art seperti patung-patung dan lukisan-lukisan yang “umum” –misalnya karya-karya Michaelangelo atau Da Vinci– masih dapat saya apresiasi dengan baik.
Akan tetapi ketika dihadapkan dengan seni-seni visual yang kontemporer seperti seni instalasi, saya sangat sukar untuk dapat mengapresiasinya.
Ketika ditanyakan mengapa bisa demikian, dengan terus terang dan polos saya menjawab,”Menurut saya, seni itu adalah suatu hal yang dapat dengan sendirinya memberikan kesan dan rasa tersendiri pada para penikmatnya tanpa harus ada intervensi dari pihak lain.”
Contohnya apabila kita melihat sebuah lukisan, mendengar musik, menonton theater, atau melihat tarian yang “konvensional”, biasanya kita langsung dapat merasakan dan mengerti apa yang ingin diungkapkan oleh para pembuat karya seni tersebut. Apakah mencerminkan kesedihan, kegembiraan, semangat, kritik sosial, dan sejenisnya.
Akan tetapi jika dihadapkan dengan seni visual kontemporer, saya agak kurang dapat memahami kenyataan di mana para penikmat seni seolah-olah langsung diberi batasan-batasan tertentu dalam rangka mengapresiasi dan menikmati sebuah hasil karya oleh si pembuat karya seni.
Hal ini sangat sering terjadi terutama pada seni-seni instalasi, di mana biasanya sang pembuat karya seni memberikan semacam keterangan mengenai karyanya —yang misalnya berbentuk sebuah kursi tua yang di bagian untuk duduk dan sandaran kursi tersebut dipasangi berpuluh-puluh paku yang mencuat keluar sehingga amat tidak mungkin kursi tersebut dapat diduduki apalagi duduk sambil bersandar– yang kurang lebih isinya seperti ini: “Karya ini saya buat dalam rangka menggambarkan kondisi sosial masyarakat kita sekarang ini yang bla bla bla…”
Batasan-batasan seperti itulah yang tidak begitu klop dengan apa yang saya pahami mengenai seni yang seharusnya tidak perlu diberi penjelasan oleh si pembuat karya sudah dapat langsung dinikmati oleh khalayak penikmat seni.
Akhirnya seperti yang mungkin sudah dapat diduga sebelumnya, saya tidak lolos dalam interview kerja tersebut. Mungkin sudah saatnya untuk mengurangi ke smart-ass-an saya kali ya?
Ngomong-ngomong, saya punya keingintahuan yang menggelitik, kenapa ya Pencak Silat yang termasuk Seni Beladiri tidak dimasukkan dalam kurikulum pengajaran di ISI? Padahal itukan juga termasuk seni to?
Catatan: Ini adalah posting blog awal saya ketika pertama kali punya domain sendiri, pada 12 September 2006. Diposting ulang dalam rangka Hari Blogger Nasional 27 Oktober 2012
Leave a Reply