Bertemu teman, menemukan kawan

Sela

Bunuh Diri dan Depresi

Bunuh Diri dan Depresi

Anemone123 / Pixabay

Bunuh diri. Percaya tidak, Robin Williams, Chester Bennington, dan Anthony Bourdain tidak meninggal karena hal tersebut?

Awalnya memang sukar dipercaya, lha wong di media terpercaya manapun yang saya temui, memberitakan hal tersebut. Kedua tokoh tadi meninggal karena bunuh diri.

Sampai kemudian saya menemukan sebuah artikel yang berpendapat berbeda.

Pendapat artikel itu, Robin Williams (dan dalam tulisan ini termasuk Chester Bennington dan Anthony Bourdain juga) tidak bisa dikatakan meninggal karena bunuh diri, berdasarkan analogi bagaimana seorang penderita kanker meninggal dunia.

Jika ada seseorang penderita kanker meninggal dunia (sebut saja si Fulan), sudah umum jika keluarga, sanak, saudara, dan kerabat yang mengabarkan ke masyarakat luas, kalau si Fulan ini meninggal akibat kanker yang telah lama dideritanya.

Padahal kalau dilihat dari sisi medis, penyebab meninggalnya (Final Cause of Death) si Fulan bukan karena kanker, tapi bisa karena stroke, pulmonary embolism, gagal jantung, dan sebagainya yang merupakan efek dari kanker tersebut.

Namun secara umum kita mengatakan kalau si Fulan meninggal karena kanker, bukan karena stroke, pulmonary embolism, atau gagal jantung.

Hal tersebut —menurut artikel tersebut— sama halnya dengan Robin Williams, Chester Bennington, dan Anthony Bourdain. Masyarakat umum setuju dan membenarkan kalau mereka meninggal karena bunuh diri.

Padahal berdasarkan analogi penderita kanker tadi, bunuh diri adalah The Final Cause of Death, sementara yang sesungguhnya diderita kedua beliau tersebut adalah Depresi.

Sama seperti pulmonary embolism sebagai sebuah fatal symptom of cancer, bunuh diri (suicide) adalah sebuah fatal symtomp dari depresi.

Sama seperti kanker, depresi juga sebuah penyakit yang hingga saat ini masih sering disalahkaprahi masyarakat. Sehingga efek fatalnya yaitu bunuh diri, hingga kini masih dianggap masyarakat sebagai “kesalahan” dari pelaku itu sendiri. Bahkan banyak yang menganggap si pelaku  itu orang mudah putus asa dan bahkan dipandang sebagai pendosa. Lihat saja di media sosial bagaimana tanggapan warganet kalau ada kabar pesohor bunuh diri.

Depresi —percaya atau tidak— sama halnya dengan kanker, juga sebuah penyakit yang merenggut banyak nyawa manusia. Di Indonesia sendiri, menurut WHO di Indonesia, 5000 orang meninggal bunuh diri pada 2010, dan meningkat menjadi 10.000 pada 2012. Sementara di dunia 800.000 orang meninggal karena bunuh diri. Ini setara dengan 1 kematian setiap 40 detik. Data tersebut saya dapatkan dari blog-nya Mbak Marissa Anita di sini.

Memang tidak semua kejadian bunuh diri karena penyakit depresi, sehingga di statistik yang tertulis hanyalah “bunuh diri” sebagai penyebab kematian. Ini yang membuat depresi menjadi silent killer karena sangat sukar dideteksi gejala-gejalanya.

Ini pula yang membuat penyakit depresi semakin membahayakan dan menakutkan. Apalagi penderitanya sering kali tidak sadar kalau ia sedang depresi.

Jadi alih-alih kita menyalahkan si pelaku, mungkin lebih baik kita fokus pada penyakit depresinya. Karena tidak ada orang yan suka dan memilih untuk menderita depresi lengkap dengan segala dampak fatalnya bagi kehidupan.

Buat teman-teman yang merasa depresi, punya kecenderungan bunuh diri, atau punya teman yang nampaknya menderita depresi dan punya kecenderungan akan melakukan hal tersebut, coba hubungi situs ini https://saveyourselves.id

Meskipun demikian, tetap saja keluarga, kerabat, saudara, dan sahabat terdekat adalah orang-orang yang punya peran penting membantu penderita depresi. Support, dukungan, dan selalu menyediakan diri sebagai tempat berbagi dan bercerita, sudah sangat cukup membantu.

Tentu saja tanpa harus menimpali atau memberi komentar pada si penderita depresi yang berbagi ke kita dengan kata-kata: “Ah, cuma gitu aja stress.”; atau “Itu sih mending, kalo aku…”; “Yang kamu rasain belum seberapa, aku dulu…”

Semua itu tidak akan membantu. Penderita depresi itu benar-benar memberanikan diri untuk berbagi dengan kita karena sudah tidak kuat dan merasa kita (sebagai teman, sahabat, saudara, kekasih) adalah orang yang mampu memberikan dukungan.

Bukan malah jadi pihak yang makin memperparah keadaan dengan menyombongkan hal-hal yang tidak perlu, sama sekali tidak meringankan penderitaan, dan tidak berguna.

Satu lagi, mari berhenti menyalahkan dan menuding pelaku adalah orang yang cengeng, lemah, mudah putus asa, dan pendosa. Karena sesungguhnya kita tidak pernah tahu persis perjuangan apa yang sudah mereka lakukan dan lalui untuk bisa terlepas dari cengkeraman depresi tersebut.

It is worth remembering that suicide is a symptom of an illness. The illness is called depression. People die from other illnesses and it is not called selfish. Also, depression is one of those illnesses that don’t care about your bank balance or your nice house or the Oscar you keep in your bathroom. Depression is not a movie. It is not always ‘about’ something. it is also something that can be invisible. A depressive will very often pretend to be something else. – Matt Haig

Tulisan ini dibuat di Hari Pencegahan Bunuh Diri / World Suicide Prevention Day.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.