Mumpung mudik, liburan, dan berpergian antar kota atau ke obyek wisata sedang dibatasi. Nampaknya ini saat yang tepat untuk memaparkan beberapa fakta Jogja yang orang luar sok tahu tapi sering salah. Baik salah memahami maupun salah menyebarkan kembali informasi keliru ke khalayak luas.
1. Candi Borobudur ada di Magelang – Jawa Tengah bukan di Jogja
Tepatnya di Desa Borobudur, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Ingat, Kabupaten Magelang. Bukan Kota Magelang. Provinsi Jawa Tengah. Bukan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Mungkin biar lebih mudahnya bisa digambar seperti ini: Kalian yang sering nongkrong di Jaksel enggak bakal terima kan, kalau ada yang bilang kalian itu nongkrongnya di Depok?
Padahal deket lho. Apalagi kalau dibandingkan jarak Kota Yogyakarta ke Kabupaten Magelang.
Ini mungkin kesalahan fakta Jogja yang umum terjadi. Saking seringnya terjadi, kesalahan informasi Candi Borobudur ada di Jogja jadi dianggap hal yang wajar. Saking wajarnya, kadang-kadang kalau ada yang berusaha membenarkan, si pembuat kesalahan tak jarang berusaha ngeles dari kesalahan dengan berbagai alasan.
Mulai dari “tapi kan wisatawan yang ke sana kebanyakan dari Jogja”, atau yang malesin “alah ngapain sih repot-repot ngeberin, hidup kok ribet amat!”, dan alasan yang paling menyedihkan menurut saya “orang lebih kenal Jogja, ketimbang Magelang”.
2. Tidak semua perempuan Jogja setiap hari berkebaya dan bersanggul besar lengkap dengan hiasan ketika di rumah
Awalnya saya tidak percaya ada orang yang punya pandangan seperti ini. Sampai bertemu beberapa anak muda mahasiswa sekaligus pendatang baru di Jogja, yang bertanya ke saya, “Mas, kok ibu-ibunya pada enggak pakai kebaya dan bersanggul?”
Rupanya anak-anak baru ini heran melihat ibu kos yang juga menjadi induk semang mereka, tiap hari di rumah terlihat tidak pernah mengenakan kebaya dan sanggul besar. Sangat berbeda dengan yang berkali-kali ditampilkan di sinetron-sinetron televisi yang mengambil latar belakang Jogja.
“Maaf anak muda, frekuensi ibu-ibu di sini mengenakan kebaya jauh lebih kecil dibandingkan ibu-ibu itu mengenakan daster.”
3. Tidak semua lelaki Jogja setiap hari menggunakan blankon dan surjan ketika di rumah
Ini juga persis sama dengan nomer 2 di atas. Efek dari para pembuat sinetron berusaha keras memberitahukan ke pemirsanya, kalau cerita ini berlatar belakang di Jogja. Niatnya ingin memberi informasi, hasilnya malah menyampaikan fakta Jogja yang kurang tepat.
Bahkan para abdi dalem istana, kalau tidak sedang bertugas dan ada di rumah, ya tidak selalu menggunakan surjan dan blangkon.
Mungkin video klip Teman Hidup dari Tulus ini, bisa memberi gambaran kalau pria Jogja tidak selalu menggunakan kedua atribut tadi ke mana-mana setiap hari. (Oh iya, dan perempuan Jogja juga tidak selalu pakai kebaya dan berkonde besar tiap hari ke mana-mana)
4. Meskipun dikenal sebagai makanan khas dari Jogja, tapi belum tentu sebulan sekali orang Jogja makan gudeg
Iya, orang Jogja tidak memperlakukan gudeg seperti pempek yang jadi makanan harian orang Palembang. Bahkan tidak seperti rendang, yang konon cara memasaknya diajarkan secara turun temurun di kalangan perempuan Minang.
Bahkan para perantau yang ada di Jogja mungkin lebih sering menyantap Olive Fried Chicken atau nasi telur kuah sarden di warmindo dekat kontrakan atau kos-kosan mereka.
Jadi, kecuali orang tua atau dia sendiri jualan gudeg, belum tentu sebulan sekali orang Jogja makan hidangan khas Jogja ini.
FYI, ini juga berlaku untuk bakpia.
5. Gudeg bukan nama makanan/masakan, melainkan nama cara/metode memasak
Ini juga keliatannya fakta Jogja yang mungkin belum banyak yang tahu.
Jadi gudeg, atau biasa disebut nggudeg, sebenarnya bukan nama hidangan tersebut, melainkan cara atau metode memasaknya. Sama dengan “menggoreng”, “merebus”, “mengukus”, “menggoreng”, dan sejenisnya.
Karena yang umum dan sering dijumpai di mana-mana adalah penjual nangka muda yang digudeg, maka muncul anggapan kalau yang disebut gudeg itu ya yang seperti umum ditemui tadi.
Padahal tahu kan ada gudeg manggar dari bunga kelapa, dan gudeg tela dari ubi kayu?
Selain itu ternyata masih banyak lagi jenis gudeg lainnya. Cuma jarang nongol aja. Kawan saya satu ini juga sangat bisa menjelaskan kalau ada yang jadi penasaran dan ingin bertanya-tanya tentang gudeg.
6. Gunakan “Jogja” kalau merujuk pada seluruh kota dan kabupaten yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta
Ini berawal sejak diluncurkannya branding baru Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu Jogja Istimewa pada 7 Maret 2015 lalu. Serta dua hari sebelum peluncuran, Gubernur DIY telah berpesan pada kabupaten dan kota di DIY untuk segera menyesuaikan diri.
Berikut ini visual identity dari brand Jogja Istimewa:
Jadi agar ringkas dan mudah diingat, silakan menggunakan “Jogja”. Sementara untuk penggunaan yang lebih formal gunakan Pemerintah Daerah DIY ya.
7. Gunakan “Yogyakarta” kalau yang dimaksud hanya Kota Yogyakarta, tempat beradanya Kraton, Tugu, Malioboro, Pasar Beringharjo, dan titik 0 Kilometer.
Melanjutkan fakta Jogja nomer 6 tadi, maka kata “Yogyakarta” digunakan untuk merujuk Kota Yogyakarta, salah satu wilayah pemerintahan di bawah Pemerintah DIY, selain 4 kabupaten lainnya.
Hal tesebut dapat dilihat pada situs resmi Kota Yogyakarta, walaupun masih menggunakan domain jogjakota.go.id, namun di bagian title-nya ditulis Portal Pemerintah Kota Yogyakarta.
8. UGM, UNY, Klinik Kopi, Tebing Breksi dan tempat-tempat keren di sisi utara itu ada di Sleman, bukan di Yogyakarta
Ini mungkin fenomena yang unik. Karena sering ada guyonan bagaimana seseorang mengaku berasal dari Solo, padahal aslinya ia berasal dari Kabupaten Boyolali, Karanganyar, Klaten, Sragen, Sukoharjo, atau Wonogiri.
Kemudian kalau ada pihak yang mengetahui kenyataan sebenarnya, biasanya si orang yang mengaku dari Solo padahal berasal dari salah satu dari 6 kabupaten tersebut, akan menimpali dengan ungkapan “Solo Kemringet”.
Maksudnya, kabupaten asli asal orang tersebut jika ditempuh dari Solo (tempat yang diaku-aku sebagai asal daerahnya), karena saking jauhnya akan membuat seseorang sampai berkeringat.
Berbeda dengan di Jogja. Semua-semua yang keren dan berada di 4 kabupaten luar Kota Yogyakarta, yaitu Kabupaten Bantul, Gunungkidul, Kulon Progo, dan Sleman, kerap diklaim ada di Yogyakarta. Mirip-mirip dengan kasus Candi Borobudur tadi lah.
9. ISI, Padepokan Seni Bagong Kussudiardja, warung sate klathak yang ada di AADC2, hutan pinus Mangunan, dan tempat-tempat dahsyat di selatan itu ada di Bantul, bukan di Yogyakarta
Ini kurang lebih sama dengan penjelasan nomer 8 tadi. Tempat-tempat dahsyat dengan sajian kuliner memikat yang sering kalian liat di Instagram para influencer dan selebgram itu, sangat mungkin tidak berada di Yogyakarta, melainkan di Bantul.
10. Daerah Istimewa Yogyakarta tidak disebut “provinsi”, jadi di sini yang ada Pemerintah Daerah, bukan Pemerintah Provinsi
Hal tersebut sesuai dengan Peraturan Daerah DIY No. 8 Tahun 2016 Tentang Nomenklatur Daerah Istimewa Yogyakarta dan Penggunaannya, pada BAB II Pasal 3 berikut ini:
Akun Instagram Humas DIY juga telah menjelaskan hal tersebut diunggahannya beberapa bulan lalu:
11. Sampai 28 Mei 2020, Daerah Istimewa Yogyakarta belum menetapkan “New Normal”, bahkan PSBB diperpanjang hingga 30 Juni 2020
Jadi berbeda dengan pernyataan seseorang-entah-siapa-aku-tak-kenal yang sok tahu mengatakan kalau Yogyakarta (entah maksudnya Kota Yogyakarta atau Daerah Istimewa Yogyakarta), sudah sejak awal “New Normal”.
Fakta Jogja yang orang luar sok tahu tapi jebul luput itu ternyata, hanya berdasar data kalau pada 28 Mei 2020 ini “Kasus Nol” dan “Kematian Nol”.
Padahal Gubernur DIY pada 27 Mei 2020 sudah mengeluarkan Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta No. 121/KEP/2020 yang isinya antara lain memperpanjang status tanggap darurat mulai 30 Mei hingga 30 Juni 2020.
Nah yang jadi pertanyaan sekarang adalah, apa ya kira-kira niat dan tujuan si seseorang-entah-siapa-aku-tak-kenal yang sok tahu itu membuat pertanyaan tersebut di akun twitternya?
Semoga Jogja dan semua warganya baik-baik saja, yang sakit segera membaik, yang sehat tetap bugar, dan rejeki kembali mengalir gêmrojog. Aamiiin…
UPDATE 25 Juni 2020: Menurut situs berita Kedaulatan Rakyat ada kemungkinan status Tanggap Darurat akan diperpanjang hingga 30 Juli 2020.
Zam
fakta soal gudeg ini aku baru tahu, ternyata merujuk ke metode.. menarik..
jika gudeg adalah nama metode, selain gudeg manggar, pada gudeg bu ahmad, gudeg bu tjitro, gudeg yu djum, apakah berarti ibu-ibu tersebut diolah? 🤭
temukonco
wah iyaaaa… saya malah mikir yang gudeg kaleng, gudeg kayu, dan gudeg batas kota kae, Mas… 😀
morishige
Sop ayam Pak Min gimana, Mas Zam? Hahahaha
MasJun
Fun Fact: Makanan khas Sleman adalah nasi telor + kuah sarden
#kulinerjuga
temukonco
Yhaaaa… Hahaha… Tapi saya sangat sepakat. Karena memang itu semacam makanan khas Sleman yang relatif lebih ekonomis, nyaris selalu tersedia selama 24 jam, dan mudah ditemukan di mana-mana. 😀
morishige
Para maba UGM semestinya izin merantau ke Sleman, bukan Yogyakarta…. Hehehe… Serunya tinggal di Jogja ini tiap hari kita bisa traveling ke kabupaten sebelah, Mas. Saya pernah waktu kuliah jalan-jalan 4 kabupaten/kota dalam sehari. Hahahaha.
Zam
wah, kalo aku sih kurang cocok dengan gagrak sop ayam Pak Min.. dan lagian, itu berasal dari Klaten, bukan Jogja.. 😆
temukonco
hahaha… sepakaaat…