Puisi adalah salah satu karya seni yang saya sukar memahami dan mengapresiasinya. Jadi wajar kalau dulu sering bingung ketika ditanya siapa penyair favorit atau apa puisi yang paling disuka.
Begitu parahnya, bahkan saya lebih dahulu mengenal “AKU INGIN” sebagai sebuah lagu cinta, sebelum akhirnya tahu ternyata itu adalah musikalisasi puisi karya almarhum Sapardi Djoko Damono.
Mungkin karena pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah jaman dulu, ketika membahas puisi lebih sering memberikan puisi-puisi perjuangan sebagai contoh bagi para siswa. Apalagi nyaris di setiap peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia, tema-tema perjuanganlah yang selalu dijadikan materi lomba puisi.
Akibatnya tanpa disadari, sebagian siswa menganggap kalau berdeklamasi, berarti harus bersuara lantang, berapi-api, tangan terkepal, dan mata mendelik-ndelik penuh semangat.
Tanpa peduli apakah yang sedang dibawakan itu puisi tentang perjuangan atau tentang keindahan taman bunga di depan rumah. Setidaknya dulu itu yang saya pahami.
Sehingga pada masa SD dulu, sangat umum menyaksikan para siswa mendeklamasikan puisi “TAMAN BUNGAKU” dengan gaya, suara, tekanan, dan intonasi yang persis sama ketika mendeklamasikan “KERAWANG – BEKASI”.
Itu juga kemudian yang membuat saya jadi merasa makin terkendala ketika harus menikmati atau mengapresiasi puisi.
Untunglah kemudian bertemu beberapa tokoh yang bisa lebih mengakrabkan diri dengan puisi. Melalui karya-karya mereka yang mudah dipahami dan dekat dengan kehidupan sehari-hari.
Contohnya ini:
unting-unting
kau datang seorang diri, perempuan
(Gunawan Maryanto – 2009)
menempuh jalan jauh tanpa kawan
seperti jisim lumaku—mayat yang berjalan
bernyanyilah dan tanggalkan
hiasan di kedua telingamu
agar kala tak punya alasan melukaimu
Atau puisi ini, yang sering dikutip di mana-mana tapi kadang yang mengutip tak tahu ini karya siapa:
JOGJA
Jogja terbuat dari rindu,
(Joko Pinurbo)
pulang, dan angkringan.
Kebisingan yang tak perlu
Nah, ketika lini masa beberapa bulan lalu ramai perdebatan seputar puisi, saya jadi geli sendiri.
Karena kembali terbayang suara lantang anak kecil berseram SD, yang berapi-api, tangan terkepal, dan mata mendelik-ndelik penuh semangat, membacakan puisi tentang keindahan alam.
Ini sedikit gambaran kebisingan seputar puisi di lini masa beberapa bulan lalu.
Jadi ada seseorang pemilik akun IG bercentang biru dengan follower jutaan dan kebetulan istri seorang bintang film ternama (untuk lebih ringkas kita sebut saja “si tokoh”), menerbitkan sebuah buku kumpulan puisi.
Itu kemudian diikuti merebaknya berbagai komentar mulai dari pujian, kritikan, hingga hujatan di media sosial. Maklum netizen Indonesia. Sampai bermunculan pendapat pro kontra terhadap sesuatu dengan berbagai alasan.
Mereka yang memuji penerbitan buku puisi itu, tentu saja juga mengagumi puisi-puisi yang pernah diunggah si tokoh di akun media sosialnya.
Sementara para penghujat dan pengkritik umumnya menganggap puisi si tokoh ini biasa saja. Sehingga kemudian mereka jadi agak heran mengapa kumpulan puisi-puisi yang biasa-biasa saja itu bisa jadi buku.
Uniknya, beberapa dari netizen dalam memperkuat pendapatnya, kemudian membanding-bandingkan puisi tokoh ini dengan karya-karya Sutardji Calzoum Bachri.
Sebab bagi orang awam, karya Sutardji bisa dibilang jauh lebih sukar dimengerti ketimbang karya si tokoh itu. Kalau tidak percaya coba saja puisi Sutardji yang berjudul Pot atau Ping Pong.
Namun sebenarnya, apapun alasan yang digunakan, membandingkan karya si tokoh ini dengan karya Sutardji Calzoum Bachri, nyaris dalam segi apapun, sangat tidak fair—kalau tidak mau dibilang sangat tidak masuk akal.
Namun jika sebelum menikmati karya tersebut kita memahami dulu Kredo Puisi yang beliau tulis tahun 1973, kita akan mengerti kalau bagi Sutardji, menulis puisi adalah proses mengembalikan kata pada mantera.
Singkatnya, Sutardji ingin membebaskan kata-kata dari makna yang biasa dilekatkan padanya, sehingga kata seolah hanya seperti pipa yang menyalurkan air berupa pengertian atau makna.
Sehingga wajar kalau kemudian beliau menulis puisi yang semacam itu. Karena punya dasar, landasan, dan alasan yang kuat.
Sedangkan untuk si tokoh itu, nampaknya belum ada statemen seputar karya-karyanya atau mengenai puisi-puisi yang dikumpulkan dan diterbitkan jadi buku tersebut.
Kalaupun tetap ingin cari perbandingan, alih-alih puisi karya Sutardji Calzoum Bachri, menurut saya kok lebih fair membandingkan puisi tokoh itu dengan karya-karya @fananinurhuda di @fananiquotes ya. Alasannya karena sama-sama diunggah di media sosial.
Dan tentu saja, saya lebih mengidolakan karya-karya Fanani ketimbang puisi si tokoh tadi. Misalnya yang ini:
Papaprocknlol
Sama mas.
Puisi menjadi hal yang rumit aku mengerti. Terkadang mudah dipahami, tapi juga membingungkan.
Ya mungkin memang dasarnya aku ngga terlalu paham, jadi selera puisiku ya yang ringan-ringan, bahkan ngga tahu siapa penulis puisi terkenal. Mungkin kalau baca puisi si-tokoh, bisa bisa manggut-menggut juga. Hehehe
temukonco
mungkin masalah selera dan referensi juga kali ya Mas? Dan juga bab per-kekancan-nan.
Jadi mergane yang bikin kancane, terus bisa cepat memahami dan mengapresiasi. 😀 😀
Ikrom
bagiku karya fiksi terutama puisi engga bisa dibandingkan karena ada beberapa patokan yang cukup ambigu jika dijadikan perbandingan
seperti diksi misalnya yang bisa saja salah seorang penyair lebih sreg dengan pemilihan kata tertentu
temukonco
sepakat Mas… dan memang kelemahan saya adalah sukar memahami dan memaknai beberapa diksi yang digunakan penyair dalam sebuah puisi. makanya seringnya malah jadi bingung sendiri 😀
Zam
saya juga kurang begitu paham dengan puisi. mungkin di sekolah dulu cuma diajarkan teori, bahwa sajak harus berima aaaa, pantun abab, dan sebagainya.. terus dulu jamanku sekolah, kalo bikin puisi, harus ndakik-ndakik dan bahasanya kaku dan berbuih.. 😅
mungkin karena itu, sampai saat ini ngga bisa memahami karya sastra ini.. kecuali saat sudah dijadikan lagu..